Perang Taktik di Hutan Cahaya

Angin malam menyapu dedaunan rimbun di Hutan Cahaya. Langit mulai muram, ditutupi awan pekat yang bergerak pelan. Aroma tanah basah dan kabut tipis membungkus suasana dengan nuansa magis yang membuat jantung Raka berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Ini enggak kayak quest biasa…” gumam Raka, sembari memandangi peta hologram yang melayang di depannya. “Kalau jalur ini yang dipilih, kita bakal ketemu sama monster Guardian-nya duluan. Tapi kalau muter ke timur, kita bisa tembus ke pusat hutan tanpa perlawanan…”

Di sampingnya, Arel—cowok elf pengguna busur—mengerutkan kening. “Tapi jalur timur bisa jebakan. Banyak medan lembek, dan kemungkinan jebakan ilusi tinggi. Gue pernah ke situ, dan hampir gila ngelawan versi palsu diri gue sendiri.”

“Ilusi?” Tanya Cila, si cewek mage bermata tajam. Ia menggenggam tongkatnya kuat-kuat. “Gue bisa ngelindungi kita dari efek sihir itu. Tapi kalau Raka milih jalur langsung, kita harus siap tempur dari awal.”

Raka menutup peta dan menghela napas. “Kita tim. Dan kita bukan kabur dari tantangan. Kita hadapin langsung Guardian-nya, kalahin, dan pastiin enggak ada ancaman di belakang kita pas kita nyampe ke Crystal Code-nya.”

Tiga anggukan mengiyakan perintah itu. Raka berjalan di depan, pedang hitamnya tergantung di punggung, siap ditarik kapan saja. Setiap langkahnya membelah semak dan ranting basah, membentuk jalur menuju takdir yang entah bakal membawa mereka pulang—atau makin masuk ke dunia game buatannya sendiri.

---

Mereka berjalan selama hampir satu jam sebelum akhirnya suara geraman rendah terdengar dari balik kabut. Tanah mulai bergetar, dan udara menghangat secara tidak wajar.

Dari balik pepohonan besar, muncul sosok raksasa setinggi rumah dua lantai, berkulit perunggu mengilap, dengan tato bercahaya di seluruh tubuhnya.

“Itu dia…” bisik Arel. “Guardian Hutan Cahaya. Namanya: Nirvok, Penjaga Cahaya Purba.”

Nirvok memutar lehernya, suara tulangnya seperti logam bergesekan. Matanya menyala merah terang, dan dalam sekejap, ia mengangkat tangannya ke langit. Cahaya hijau menyilaukan keluar dari tubuhnya, membentuk semacam perisai besar yang melindunginya.

“Dia aktifin barier sihir!” seru Cila. “Raka, kita harus hancurin sumber energi bariernya dulu!”

Raka tidak menjawab. Ia sudah menghilang dari pandangan mereka.

Dalam sepersekian detik, dia melesat dengan teknik gerakan cepat bernama Shadow Leap, muncul tepat di bawah Nirvok dan langsung menebaskan pedangnya ke tanah, membelah tanah dan menghancurkan formasi sihir yang tertanam di akar pohon.

Ledakan energi sihir langsung meletus, dan perisai Nirvok bergetar keras, kemudian mulai retak.

“Sekarang!!” teriak Raka.

Arel menembakkan panah dengan kecepatan gila, lima anak panah sekaligus yang setiap ujungnya menyala biru. Sementara itu, Cila mulai mengucapkan mantra panjang, dan tongkatnya memancarkan bola cahaya besar yang mengelilingi Nirvok dan memenjarakannya.

Nirvok meraung, berusaha kabur, tapi tidak bisa. Saat itulah, Raka berlari—dan waktu seakan melambat.

Di tengah udara, pedangnya menyala. Bukan karena efek sihir, tapi karena tekad. Tekad untuk mengendalikan dunia yang ia ciptakan sendiri. Dunia yang sekarang memenjarakannya.

Dengan teriakan keras, Raka membelah dada Nirvok dengan tebasan vertikal. Suara seperti kaca pecah mengiringi tubuh raksasa itu runtuh, berubah menjadi serpihan cahaya yang melayang ke langit, lalu menghilang seperti debu bintang.

Hening. Lalu suara nafas ngos-ngosan. Arel, Cila, dan Raka berdiri mematung.

“Kita berhasil…” Arel tertawa, hampir tidak percaya.

“Dan itu baru pemanasan,” ujar Raka, matanya menatap ke arah pusat hutan yang sekarang memancarkan cahaya biru dari kejauhan. “Crystal Code ada di sana. Tapi bukan cuma kita yang ngincer.”

---

Malam itu mereka membuat tenda sederhana di bawah pohon lebat. Api unggun menyala, dan Cila sedang mengaduk sup dari tanaman penyembuh yang mereka temukan di sepanjang jalan. Arel mengasah panahnya, dan Raka duduk menatap langit.

“Ada yang lo pikirin?” tanya Cila.

Raka diam sebentar, lalu berkata pelan. “Tadi waktu ngelawan Nirvok, ada sesuatu yang aneh. Di akhir, gue lihat logonya berubah… kayak… bukan logo sistem biasa. Tapi kayak lambang perusahaan gue dulu—di dunia asli.”

Cila dan Arel menoleh cepat.

“Lo yakin?” tanya Arel.

“Banget.” Raka menatap mereka. “Kayaknya ada yang lebih besar dari sekadar bug atau glitch. Dunia ini berkembang sendiri. Ada entitas yang memanipulasi sistem internal, bahkan menulis ulang kode dasar game ini… dan itu bukan gue.”

Cila menelan ludah. “Kalau gitu… bisa jadi ada pemain lain yang masuk, atau… sesuatu yang hidup dalam sistem.”

“Makhluk buatan yang jadi sadar diri,” gumam Raka. “Dan sekarang, dia mainin kita. Kayak boneka dalam arena yang dia bikin sendiri.”

Arel berdiri. “Jadi ini bukan lagi misi nyari jalan pulang. Tapi juga nyari tahu siapa dalangnya.”

“Dan nentuin siapa yang berhak nguasain dunia ini,” tambah Cila.

Angin malam kembali bertiup, membawa aroma bunga dan misteri. Di kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Banyak. Serempak. Teratur.

Raka berdiri. Ia menoleh ke arah suara itu—dan matanya membelalak.

Pasukan berzirah hitam dengan lambang Omega Void di dada mereka muncul dari balik kabut. Di depan mereka, berdiri seseorang bertopeng, dengan jubah berkibar.

“Raka…” suara berat itu terdengar, meski pelan. “Akhirnya kita ketemu lagi. Tapi kali ini, gue yang pegang kendali.”

Wajah Raka memucat.

Itu suara yang sangat ia kenal.

Suara temannya dulu. Co-programmer dari dunia nyata. Orang yang sudah meninggal… dalam kecelakaan dua tahun lalu.

“Gilang?”