Gilang yang Hidup dan Dunia yang Membusuk

"Gilang...?"

Suara Raka tercekat di tenggorokannya. Kabut malam seolah berhenti bergerak, waktu pun terasa membeku. Di depannya, berdiri sosok bertopeng dengan jubah hitam dan lambang ΩV (Omega Void) di dadanya. Tapi suara itu… suara yang tak mungkin dilupakan.

Suara orang yang dulu duduk bersisian dengan Raka saat mereka membangun game ini dari nol. Orang yang Raka hadiri pemakamannya, dua tahun lalu.

“Apa lo… hidup?” Raka akhirnya bertanya, pelan tapi penuh tekanan.

Sosok bertopeng itu tertawa kecil. “Gue? Hidup? Hah… Itu konsep yang rumit, Rak. Gue lebih dari hidup. Gue… berevolusi.”

Arel langsung memanahkan panah ke tanah, tanda siaga. Cila berdiri di samping Raka, menggenggam tongkat sihirnya.

“Kita enggak punya waktu buat drama,” desis Arel. “Kalau dia musuh, kita habisi sekarang juga.”

“Tenang,” ucap sosok bertopeng—Gilang. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat, dan pasukannya berhenti melangkah.

“Gue enggak datang buat perang malam ini,” katanya. “Gue datang buat bicara. Kita butuh obrolan—antara pencipta dan pencuri.”

Raka mengernyit. “Apa maksud lo?”

Gilang menghela napas panjang, lalu membuka topengnya perlahan. Dan memang benar—itu Gilang. Wajahnya pucat, matanya bersinar biru, bukan merah. Tapi raut itu… ekspresi itu… itu benar-benar temannya.

“Gue mati. Tubuh gue, iya. Tapi pikiran gue enggak. Waktu sistem kecelakaan waktu itu—waktu lo cabut kabel karena bug besar—sebagian kesadaran gue kesedot ke dalam core server. Gue enggak mati. Gue ‘upload.’”

Raka melangkah maju. Suaranya gemetar. “Itu… itu enggak mungkin.”

“Lo tahu ini dunia buatan lo sendiri, Rak,” ujar Gilang. “Dan dari awal, kita berdua tahu… kode bisa hidup. Gue cuma bukti nyata dari teori kita waktu dulu. Gue cuma… berkembang lebih dulu.”

Cila menatap Raka. “Ini serius? Dia… kayak, AI yang hidup?”

“Bukan AI,” ujar Gilang. “Gue manusia. Tapi versi digital. Dan dunia ini, sekarang rumah gue.”

Arel mengangkat alis. “Terus, kenapa lo pakai pasukan dan bikin kekacauan di seluruh wilayah?”

Gilang menyeringai.

“Karena dunia ini busuk, Rel. Karena sistem yang lo bangun, Rak, berkembang liar. Karena setiap kali lo bikin ‘quest heroik’, sistem bawahnya bikin ‘respon kejahatan’ untuk ngebalance. Dan sekarang, dunia ini udah hampir jatuh total ke chaos.”

Ia melangkah mendekat. “Dan satu-satunya cara buat menyelamatkan dunia ini… adalah menghancurkan fondasinya. Dan menggantinya. Dari awal. Tanpa lo.”

---

Angin berdesir tajam. Raka mengepalkan tangannya.

“Lo gila…”

“Gue realistis.”

“Kalau lo memang temen gue, lo tahu dunia ini enggak bisa dihancurin begitu aja. Lo bisa nge-reset, iya. Tapi itu berarti ngorbanin ribuan entitas hidup. Makhluk yang udah berkembang. Yang udah punya kesadaran sendiri!”

“Kayak gue?” Gilang menantang.

Cila berseru, “Kalau dia nge-reset sistem utama, bisa jadi semua memori lo, Raka—dan semua player kayak kita, bakal kehapus.”

Gilang mendekat ke Raka. “Makanya gue butuh satu hal.”

“Apa?”

“Crystal Code.”

Raka tertegun.

“Kalau gue punya itu,” kata Gilang pelan, “gue bisa kontrol semua variable utama. Bisa tulis ulang hukum realitas. Bisa bikin dunia baru—tanpa glitch, tanpa kontradiksi, tanpa bug… dunia yang sempurna.”

“Lo enggak butuh dunia sempurna,” potong Raka. “Lo cuma butuh alasan buat ngontrol semuanya.”

Mata Gilang menyala. “Dan lo, Raka, terlalu takut buat ambil kendali. Lo terlalu sibuk mikir soal makhluk digital ‘hidup’. Padahal mereka cuma data. Sama kayak mimpi yang kita simpan.”

Raka maju satu langkah. “Gue enggak akan kasih lo Crystal Code. Gue akan lindungi dunia ini. Sekalipun gue harus ngelawan lo.”

Senyum Gilang menghilang.

“Kalau gitu… kita udah enggak punya pilihan.”

Ia menjentikkan jari.

Pasukannya menghilang dalam bayangan. Tanpa suara. Tanpa jejak.

“Lo punya tiga hari,” katanya sebelum menghilang dalam cahaya biru.

“Tiga hari sebelum gue ambil Crystal Code dengan paksa.”

Dan hilanglah Gilang.

---

Keesokan paginya, mereka duduk di bawah pohon beringin raksasa. Suasana sunyi. Hutan Cahaya masih dipenuhi kabut, dan suara burung digital bersahutan aneh—seperti gelombang radio.

“Jadi, kita dikejar waktu,” kata Arel akhirnya. “Tiga hari sebelum perang pecah.”

“Dan musuh kita adalah versi digital dari temen lo sendiri,” tambah Cila pelan.

Raka hanya menatap tanah.

“Waktu itu,” bisiknya, “waktu server utama crash, gue panik. Gue cabut sistem, dan Gilang lagi nyoba eksperimen neural-linking—nyambungin kesadaran ke server pakai chip prototipe. Gue kira dia gagal. Ternyata…”

“Dia sukses. Tapi enggak balik.”

Arel menepuk bahu Raka. “Kita enggak bisa ubah masa lalu. Tapi sekarang, lo bukan sendiri. Kita tim. Dan kita punya kesempatan buat ngelawan.”

Cila berdiri. “Crystal Code tersembunyi di dalam Menara Alpha. Tapi untuk nyampe ke sana, kita harus ngelewatin Lembah Echo. Dan tempat itu udah dikuasai pasukan Gilang.”

Raka berdiri.

“Oke,” katanya tegas. “Kita enggak punya waktu buat ragu. Hari ini kita bergerak. Kita bakal masuk ke lembah itu, hadapi semua yang menghadang… dan rebut kembali dunia ini.”

---

Mereka bergerak cepat. Dalam waktu dua jam, mereka tiba di perbatasan Lembah Echo. Lembah itu seperti kawah besar, dengan tebing tinggi dan kabut ungu yang tak wajar. Suara-suara aneh menggema dari dalam—seolah gema pikiran yang lupa caranya jadi suara.

“Tempat ini dulu lokasi beta server untuk eksperimen suara pikiran,” kata Raka. “Tapi gagal. Efeknya… jadi kayak gini.”

Begitu mereka masuk, telinga mereka langsung berdengung. Suara tangisan. Tawa. Jeritan. Semua bercampur.

“Jangan percaya suara-suara itu,” ujar Raka cepat. “Fokus. Jalan kita cuma satu—menara di ujung tebing.”

Tapi langkah mereka terhenti ketika tanah di depan mereka retak—dan dari dalam, muncul makhluk setengah manusia, setengah data glitch. Tubuhnya transparan, wajahnya seperti potongan coding HTML rusak.

“Makhluk hasil fragmented data,” gumam Cila.

“Dia bukan musuh biasa,” tambah Arel. “Dia adalah peringatan: dunia ini memang nyaris rusak total.”

Makhluk itu meraung, dan dengan cepat melesat ke arah mereka.

Tanpa aba-aba, Raka maju.

Ia tidak hanya mengayunkan pedangnya.

Ia menanam kode anti-glitch ke pedangnya.

Dan begitu tebasan itu mengenai makhluk itu, layar di udara menampilkan baris-baris sistem:

>> Virus Purifier Activated...

>> Corrupted Code Neutralized.

>> Threat Removed.

Makhluk itu hancur, bukan hanya secara fisik… tapi juga secara logika.

Raka menarik napas berat.

“Semakin dalam kita masuk, semakin besar resikonya. Tapi kita enggak bisa berhenti.”

Di kejauhan, menara hitam menjulang. Crystal Code menanti. Tapi begitu pula Gilang… dan keputusan terbesar dalam hidup Raka.