Langit pagi tampak kelabu. Cahaya dari Gerbang Kehendak Langit masih menggantung di angkasa seperti matahari kedua yang tak bergerak. Di bawahnya, Astraem berdiri di tengah alun-alun Desa Kayoma, menatap gerbang itu dengan tatapan dalam.
“Kalau aku masuk ke gerbang itu… aku nggak tahu akan balik ke sini lagi atau nggak.”
Torek, sang kepala desa, berdiri di sampingnya. Pria tua itu memegang tongkat kayu, wajahnya suram tapi penuh doa.
“Kami semua percaya padamu, Astraem. Tapi jika jalanmu adalah ke langit, maka pergilah.”
Anak-anak desa sudah berkumpul, membawa bunga liar, menggambar simbol-simbol kecil di tanah sebagai persembahan. Seorang gadis kecil menyerahkan Astraem sehelai pita biru, “Biar nggak lupa pulang, ya, Kak Astraem!”
Astraem tersenyum, mengikat pita itu di pergelangan tangan kirinya. “Aku bakal bawa ini sampai akhir.”
Ia melangkah ke bawah cahaya. Begitu ujung sepatunya menyentuh cahaya emas, tubuhnya mulai diserap. Angin berputar. Cahaya berdenyut. Dan dalam sekejap, ia menghilang dari bumi.
---
[Zona Baru: Padang Angin Hitam]
Begitu Astraem membuka mata, ia berdiri di tanah berwarna abu, padat seperti bekas terbakar. Langit di atasnya tampak merah gelap, berputar perlahan seperti badai yang menunggu waktu.
[Notifikasi: Zona Ini Terlarang untuk Manusia Biasa]
[Status Khusus: Perlindungan Dewata Aktif - Durasi 2 Jam]
Angin bertiup kencang, membawa suara-suara lirih yang tak jelas.
> “...kembali… jangan masuk… hancur…”
Astraem menggenggam gagang pedangnya lebih erat. Di kejauhan, ia melihat sesuatu: menara hitam menjulang sendirian di tengah padang kosong. Di sekitarnya, puluhan siluet berjalan terseret-nyeret—makhluk-makhluk seperti manusia yang kehilangan bentuk.
Ia membuka Map Sistem:
[Misi: Telusuri Menara Lupa & Temukan Bintang Kehendak Pertama]
[Waktu: 2 Jam 00 Menit (Countdown Dimulai)]
Tanpa ragu, ia mulai berlari melintasi padang itu. Setiap langkah disambut suara bisikan dari tanah.
> “Kenapa kamu hidup…? Kenapa kamu dipilih…?”
---
30 menit kemudian.
Ia tiba di dekat menara, dan saat itu juga, tanah di hadapannya meledak. Tiga sosok muncul—bukan Mala, tapi penghuni zona kelabu, dikenal sebagai Nokturis. Mereka tak memiliki wajah, tubuhnya seperti salinan kabur dari manusia. Senjatanya pun aneh—satu membawa lonceng berduri, satu membawa tombak gelap, satu lagi membawa rantai yang berputar-putar di udara.
[Notifikasi: Tiga Nokturis Muncul — Level Tidak Terdeteksi]
"Ini lebih berat dari biasanya," gumam Astraem, bersiap.
Salah satu Nokturis tiba-tiba mengayun lonceng ke arahnya. Suaranya tidak terdengar di telinga, tapi menusuk langsung ke pikiran.
[Efek Status: Disorientasi – 5 detik]
Astraem terhuyung. Dunia di sekelilingnya seperti terbalik. Tapi sebelum ia jatuh, ia menancapkan pedangnya ke tanah, menstabilkan diri.
“AETHER GUARD!”
Aura biru menyebar dari kakinya, menahan efek lonceng. Saat itu, Nokturis bersenjata rantai menyerang dari atas. Tapi Astraem sudah menyiapkan balasan.
[Skill: Shadow Step]
Ia menghilang seketika, muncul di belakang musuh pertama.
“SPIRIT ECHO STRIKE!”
Bayangan-bayangan dirinya muncul, menghantam Nokturis dari tiga sisi. Makhluk itu meledak menjadi abu. Tapi dua lainnya menyerbu dari dua arah berbeda.
Astraem melompat ke udara, lalu membuka Menu Rahasia yang baru terbuka setelah level 12.
[Teknik Tertutup: Aetherstorm Blade (Level 1)]
“AETHERSTORM…!”
Pedangnya bersinar merah-biru, lalu ia berputar di udara dan menebas dalam pusaran cahaya.
“...BLADE!!”
Gelombang energi menghantam tanah. Ledakannya mendorong pasir hitam ke segala arah. Dua Nokturis terseret dan meledak jadi kabut gelap. Langit berguncang.
[Pertempuran Selesai — EXP +780, Skill Aetherstorm Naik ke Lv.2]
Astraem terengah-engah, tapi matanya penuh nyala semangat.
---
Menara Lupa
Setelah naik 73 anak tangga spiral tanpa ujung, ia tiba di ruang utama. Di sana, ada altar batu. Di atasnya terbaring sesuatu: bola kristal kecil berwarna biru pekat—berdenyut pelan seperti jantung.
[Item Langka Ditemukan: Bintang Kehendak Pertama]
Tapi saat ia menyentuhnya…
[Notifikasi: Ujian Langit Dimulai]
[Musuh Spesial: Penjaga Bintang - ALVOR, Mala Lv.15]
Dinding menara meleleh, dan dari atas langit turun sosok raksasa dengan tubuh penuh paku dan mata tunggal besar di tengah dadanya.
“AKU… ADALAH… PENJAGA KEHENDAK…”
Astraem tidak bicara. Ia langsung melesat ke depan, menebas kaki makhluk itu—tapi pedangnya hanya memantul.
[HP -12]
“Seranganku... hampir nggak ngaruh?”
ALVOR mengayun tangannya, menciptakan gelombang gravitasi. Tanah runtuh, dan Astraem hampir tersedot.
Ia segera mengaktifkan item baru.
[Aktifkan Batu Komunikasi Dewa?]
→ YA
Suara Sang Penguji muncul di kepalanya:
> “Gunakan Kehendakmu, Astraem. Kamu sudah punya Bintang Pertama. Tarik kekuatannya.”
Astraem menatap bola biru di altar. Ia mengangkat tangan, dan cahaya dari Bintang itu menyatu ke dadanya.
[Mode Baru Terbuka: Spirit Drive Lv.1]
Tubuhnya memancarkan cahaya biru muda. Pedangnya berubah wujud: lebih panjang, dengan pola bintang di sisi bilahnya.
“Mari kita akhiri ini.”
Astraem meloncat, menghindar dari pukulan Alvor, lalu mendarat di pundaknya.
“AETHERSTORM STRIKE – SPIRIT DRIVE MODE!!”
Dengan pekikan keras, ia menebas ke arah mata tunggal Alvor. Ledakan cahaya menyambar seluruh ruangan.
---
10 menit kemudian.
ALVOR telah hancur, meninggalkan debu dan suara samar: “…kau layak… untuk yang berikutnya…”
[Bintang Kehendak Pertama Didapatkan]
[EXP +1500 – Naik Level: 13]
[Spirit Drive Lv.1 Terbuka Permanen]
Astraem terjatuh duduk, napas terengah, tapi tersenyum. Di luar menara, langit mulai memutih. Zona Padang Angin Hitam perlahan-lahan kehilangan bentuknya. Ia telah menyelesaikan bagian pertama dari ujian dewa.
Tapi suara terakhir dari Sang Penguji membekas di benaknya.
> “Kau pikir ini akhir? Tidak, Astraem. Karena di utara… ada Istana Langit yang telah bangkit. Dan mereka… sedang menunggumu.”