Tiga peluru menghantam keras dinding kontainer, serpihan logam beterbangan.
Aven menarik Lira ke balik tumpukan besi berkarat. Mereka terengah, tapi tetap diam.
Di kejauhan, langkah-langkah berat terdengar mendekat.
Zeraphis mengirim tim penuh malam ini.
Aven melirik ke atas — kabut bercampur asap, jarak pandang buruk.
Tapi bagi dia, kekacauan seperti ini adalah habitat alami.
Ia menarik napas dalam, lalu bicara cepat, datar:
“Jumlah mereka lebih dari delapan. Taktik bersih. Gerakan terlatih. Lo siap?”
Lira menyentak pergelangan jaketnya, mengeluarkan pistol cadangan.
“Enggak... Tapi kalau diem aja kita mati.”
---
BOOM.
Granat asap dilempar ke tengah dermaga.
Musuh mengurung dari dua sisi. Laser penanda mulai berkedip dari balik kapal tua.
Aven melihat celah — ada tangki bahan bakar tua di pojok kontainer terbuka.
Tanpa ragu, dia lempar granat magnetik ke salah satu sisi kontainer.
“Merunduk!”
BAAMMM!!
Ledakan mengguncang lantai dermaga. Api menyala tinggi, menghanguskan dua siluet musuh.
Kabut berubah jadi neraka merah.
Tapi Aven sudah hilang dari pandangan.
Dia menyatu dengan api.
---
Dalam gelap dan kekacauan, Aven bergerak cepat.
Pistol di tangan kanan, pisau lempar di kiri.
Satu musuh mendekat — dor, peluru menembus dada.
Lainnya menyergap dari belakang — srek!, pisau menebas lehernya.
Lira mencoba bertahan di sisi lain, bahunya tertembak ringan.
“Gue tahan sisi kanan!” teriaknya.
“Jangan mati,” jawab Aven datar, “Gue belum selesai pakai lo.”
---
Tiba-tiba...
Satu siluet dari pasukan Zeraphis melemparkan benda kecil ke arah Aven.
Tabung hitam. Kecil. Tidak berbunyi.
Aven tahu jenisnya.
Granat peredam-sonik.
Pop.
Detik berikutnya… semua suara menghilang.
Ledakan? Hilang. Tembakan? Senyap.
Langkah kaki? Tak terdengar.
Hanya hening.
Menyesakkan.
---
Tapi Aven pernah mengalami ini.
Dia menutup matanya. Fokus.
Dengan gerakan presisi, ia menyusup ke kiri. Dua musuh berdiri — tidak sadar dia sudah begitu dekat.
DOR.
DOR.
Dua peluru ke kepala. Tubuh jatuh tanpa suara.
Satu musuh lagi menyadari pergerakan, tapi terlambat.
Aven mengayunkan pisau ke dada — srak! Darah menyembur… diam.
---
Beberapa menit berlalu.
Efek granat habis. Suara kembali perlahan.
Lira tertunduk, darah menetes dari bahu, tapi dia masih sadar.
Aven menghampiri dengan langkah ringan, pistol masih berasap.
“Bersih,” katanya singkat.
Lira menatapnya lemah. “Lo bukan orang normal, ya?”
Aven tak menjawab. Ia hanya memandang ke laut.
Airnya kini bercampur darah dan api dari kapal yang terbakar perlahan.
---
Malam itu, Aven menyadari satu hal:
Zeraphis tidak mengirim pasukan untuk membunuh dia.
Mereka ingin mengukur.
Mengukur seberapa jauh mereka bisa membuat pembunuh bayaran terakhir Vireon... terpojok.
Dan malam ini, mereka gagal.
Tapi Aven tahu, kegagalan itu cuma awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dan jika perang ini dimulai... dia akan menyelesaikannya sendiri.
---
"Diam bukan berarti kalah. Dan senyap... bukan berarti tak berbahaya."
– Aven Kuro