Aku duduk terdiam. Mataku terpaku pada layar laptop yang menyala terang. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari berita yang kubaca. Tubuhku membeku, seolah disambar petir. Keringat di dahiku menetes deras, bulu kudukku berdiri.
Aku masih tidak percaya apa yang kulihat.
"GERBANG MERAH TELAH TERBUKA"
tertulis dalam tajuk utama.
"MAKHLUK MENGERIKAN MUNCUL DAN MEMBANTAI SEGALA YANG HIDUP."
Awalnya kukira berita itu hanyalah konten buatan orang-orang jahil di media sosial. Tapi footagenya, suasananya, dan lokasinya terlihat seperti asli.
Isi beritanya-pun tak kalah mengerikan. Gerbang merah yang selama ini tertutup tiba-tiba saja terbuka di tengah kota dan melepaskan ribuan makhluk asing. Mereka tidak perduli apakah yang ada di depan mereka manusia, binatang, atau bahkan benda mati. Semua dilumat tanpa ampun.
Makhluk-makhluk itu berhamburan keluar dari gerbang dengan jeritan melengking yang memekakkan telinga. Suaranya sangat nyaring hingga dapat menggetarkan tulang.
Mereka merangkak, melata, berlari dalam bentuk mirip seperti kaki seribu. Ada makhluk yang tingginya seperti gedung tingkat tiga dan yang lainnya tidak lebih kecil daripada anjing domestik. Taringnya panjang. Tajam seperti bilah pisau yang baru di asah. Semuanya berhamburan mencari mangsa. Tubuhnya berkedut seperti boneka yang digerakkan oleh tali.
Dibalik ribuan mahluk yang berhamburan itu, terlihat sosok yang lebih mengerikan.
Dia berdiri dengan angkuh, jika diukur dengan manusia biasa, tingginya sekitar dua meter. Mengenakkan jubah biru panjang yang dipenuhi bercak darah. Matanya bergerak liar, lapar, seperti binatang buas yang mencium daging segar. Kulitnya pucat dan giginya runcing seperti pisau-pisau kecil yang siap mencabik apapun yang ada didepannya.
Dia tersenyum tipis seperti sudah menantikan momen ini.
"Aaaaaaaaaaarghhh!!!"
Teriakan warga, kepanikan, kebingungan seolah menyatu dan bergema di video yang diputar berulang-ulang. Histeria, darah, dan potongan tubuh berserakan di mana-mana. Para makhluk itu berlomba mengejar siapa pun yang ada di depan mereka. Hari itu adalah hari paling kelam dalam sejarah umat manusia.
Setelah melihat berita, waktu seolah berjalan lambat. Aku tidak tahu sudah berapa lama terpaku. Wajahku memucat, pikiranku tak karuan. Ketika mengingat kembali adegan potongan tubuh berserakan dalam berita, aku sempat ingin mengeluarkan isi perutku tetapi tertahan.
Intuisiku berteriak agar aku segera lari, tapi badanku tetap mematung.
"Aku harus lari... AKU HARUS LARI!!!" Kata-kata itu terus bergema di pikiranku dan akhirnya akupun beranjak dari kursi.
Aku tidak begitu mengingat kapan aku mengambil tas, memakai sepatu, atau mengambil perlengkapan lainnya. Yang kuingat hanyalah aku sudah menuruni tangga. Berlari dengan tergesa-gesa dan napas yang memburu hingga dadaku terasa panas.
Apartemen yang aku tinggali berjarak sekitar tiga kilo meter dari lokasi kejadian. Mungkin tidak terlalu jauh atau memang cukup jauh.
Saat aku turun, teriakan warga yang panik bergema di segala arah. Aku pun bergegas meninggalkan apartemenku.
*** ***
Hal yang terpikirkan pertama kali saat tinggal di bawah tanah adalah... Keheningan.
Itu akan terus membuatmu berpikir bahwa jika keheningan datang, akan diikuti oleh kondisi dan situasi yang aman. Semuanya seolah diam, seperti kamu akan kembali terbangun dari mimpi buruk.
Tetapi... Tidak. Itu semua hanya ilusi. Semua yang kurasakan... Semua yang kulihat dalam berita itu... Memang benar terjadi.
"Clak... clak... clak..."
Suara tetesan air dari pipa air minum yang bocor memecah keheningan. Suaranya bergema di dinding terowongan bawah tanah.
Udara lembab yang kuhirup ini hanya bisa masuk perlahan dari hidungku.
Bau gorong-gorong yang menyengat sudah tak kurasakan lagi, mungkin karena aku sudah mulai terbiasa... Karena, di sinilah satu satunya tempat yang menurutku cukup aman.
Ya... Aman hingga saat ini.
Di sinilah aku bersembunyi...
Jauh di bawah tanah, dalam gorong-gorong kota yang sudah hancur.
Sendirian.
Tak ada siapa pun.
Hanya ditemani cahaya lilin yang melemparkan bayangan di dinding beton. Apinya kecil, ringan... Tapi... Seolah memberikan secercah harapan pada kondisiku saat ini.
"Kupikir semua orang yang kulihat di berita itu sudah mati. Termasuk kameramennya," gumamku pelan sambil terkekeh sakras.
"uhuk~ uhuk~ uhuk~!!!"
"Pelan pelan, Jaya..." ucapku serak. Suaraku bergema di terowongan.
Hampir saja aku tersedak potongan dendeng yang kutahan di gigiku.
Setelah berita itu muncul, aku bergegas kabur dari apartemenku. Jika perkiraanku benar, jaraknya memang hanya sekitar tiga kilo meter dari lokasi pembantaian itu. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju gorong-gorong kota. Yang aku pikirkan saat itu hanyalah kabur, lari, selamatkan diri sendiri.
"Tak terasa, sudah seminggu aku hidup di sini". Aku bergumam sambil melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 21.59, 7 Juli 2035.
"Baiklah.. Kurasa cukup untuk hari ini... Saatnya tidur."
Aku menutup buku catatan cokelat bersampul kulit yang selalu kubawa, lalu meniup lilin yang setia menemaniku malam ini.
Kegelapan kembali menghampiriku. Tetapi kegelapan itu juga membantuku untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiranku yang terus menanggung beban kewarasanku hingga saat ini.
*** ***
"Jaya, kalau sudah besar mau jadi apa?"
Ibuku bertanya dengan nada halus dan lembut.
Aneh... Bau dari gorong-gorong tiba-tiba saja menghilang.
Sekarang aku duduk di atas tikar piknik, bermandikan cahaya matahari yang bersinar cerah. Aku bisa merasakan dinginnya rumput yang menyentuk kakiku.
Riuh sekali. Anak-anak berlarian di atas padang rumput yang hijau, saling mengejar satu sama lain.
Aroma dari makanan yang dibawa Ibuku membuatku air liurku tidak berhenti menetes seolah ingin segera mencicipinya.
Layang-layang terbang di angkasa dengan bebas, tertiup oleh angin segar yang mengalir lembut di permukaan kulitku.
"Jaya mau jadi pilot seperti papa!" jawabku dengan riang.
Ibuku tersenyum sambil mengusap-usap pipiku. Jari-jemarinya yang lembut membelai rambutku perlahan. Aromanya wangi sekali seperti wangi sabun dan bunga-bunga yang bermekaran di taman.
"Waaah, Jaya hebat sekali..." Ucapnya sembari mencium ubun-ubunku dengan lembut.
"Mama do'akan semoga Jaya bisa menjadi Pilot dan terbang di langit seperti Papa yaa~" Ujar Ibu sembari mencubit kecil hidungku.
Langit seolah menggelap karena bayangan hitam besar menutupi kami. Tiba-tiba ayahku muncul dari belakang dan menjulurkan kedua tangannya.
"Ayo sini, terbang sama papa!" seru Ayah sambil menggendongku. Dia mengangkatku tinggi sekali dan memutarku di udara seolah aku pesawat terbang yang melesat ke langit. Aku dapat melihat pemandangan taman yang hijau, merasakan angin segar, dan kasih sayang dari keluargaku.
Sungguh hari yang indah.
Bisa berkumpul, bercengkrama dan bermain di taman seperti ini adalah sebuah kebahagiaan paling murni yang bisa kurasakan saat ini. Dan itu... Semuanya terasa nyata... Sangat nyata.
Tetapi... Saat aku terbang, aku merasakan seperti ada yang janggal.
"Ini nggak mungkin kan..?"
"Gerbang itu!... Gerbang merah terbuka seminggu lalu."
"Kenapa aku disini?!"
Seketika udaranya berubah. Seperti mimpi buruk di siang bolong, semuanya tiba-tiba runtuh begitu saja.
Lalu... Terdengar jeritan.. Suara pekikan yang tidak asing bagiku. Aku coba mengingat... Dimana aku pernah mendengar suara itu?.
"Kieaaaaaaaaaaak~~~~~~"
Suara itu bergema membelah langit. Burung-burung berterbangan dari atas pepohonan seperti peluru shotgun yang berhamburan keluar. Mereka tahu ada bahaya yang mengancam dan menyelamatkan diri dari predator yang akan memburu mereka.
Mama terdiam. Senyumannya memudar.
Kabut tebal dan bau amis darah menyapu terbawa angin yang berhembus.
Lalu... Mereka datang.
Gerombolan makhluk mengerikan yang datang menerjang segala yang ada di hadapan mereka.
Kepanikan-pun pecah di taman kota J. Suasana yang tenang itu berubah menjadi histeria dimana-mana. Orang-orang berlarian... Menjerit... Mencoba menyelamatkan diri mereka... Tetapi semuanya sudah terlambat.
Sebelum korban pertama ambruk ke tanah, darahnya muncrat membasahi rerumputan hijau yang kini berubah menjadi merah.
Ibu segera menarik lengan Ayah dengan panik. Tanpa pikir panjang, Ayah menggendongku dan mulai berlari bersama pengunjung lainnya. Meninggalkan alas piknik, makanan, semuanya... Karena saat itu nyawa kami lebih penting dari apapun.
"LARI!" teriak Mama nyaring. Suaranya bergetar karena ketakutan.
Orangtuaku berlari sekuat tenaga menembus kerumunan tanpa melihat ke belakang... Tetapi, gerombolan makhluk mengerikan itu berlari lebih cepat dari manusia biasa.
Lalu...
"Slash!!!... Bruk...."
Aku menoleh ke belakang.
Ibuku terkapar. Tubuhnya tersungkur ke tanah. Mataku membelalak. Suaraku pecah.
Seketika aku berteriak histeris dan mengulurkan tangan mencoba untuk meraihnya.
"PAPAAAAAA ITU MAMAAAAA!!!"
Ayahku berhenti. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dilihat matanya. Wajahnya memucat, hatinya hancur.
Aku meronta dari gendongannya sekuat tenaga, ingin berlari menghampiri Ibu. Tapi Ayah tetap memelukku erat.
"Tidaaaaaak.. MAMAAAAA!"
Tangisku meledak. Air mata bercampur keringat mulai membasahi pipiku hingga ke mulutku. Rasanya asin... Tangan kecilku masih terulur ke arah Ibu... Aku masih berusaha untuk meraihnya. Pandanganku kabur tertutup air mata yang terus mengalir... Semua yang aku lihat dalam kekacauan ini hanyalah cipratan darah.
Sekilas... Aku masih bisa melihat Mama dibalik kekacauan itu.
Mama masih bernapas... Tarikannya berat... Dia masih bergerak dan melihat ke arah kami.
Bibirnya seperti mengucapkan namaku berulang kali dan menyuruh kami untuk lari.
"Asih..???!!!" Ucap Ayah dengan suara bergetar... Papa meneriakkan namanya seolah-olah akan membuat kami lebih dekat tetapi... Semua itu percuma...
Hanya suara saja tidak cukup untuk menghentikan kekacauan itu.
"LARI Park Ji-Hoon...!!!! Selamatkan anak kita!" Suara serak Ibu bergema. Dia berteriak dari tanah sambil bersimbah darah.
Sekarang taman ini berubah menjadi zona pembantaian. Teriakan... Suara tulang retak... Pekikan makhluk-makhluk itu bergema di kepalaku.
Udaranya kembali berubah. Atmosfirnya terasa memberikan tekanan yang lebih berat dari sebelumnya.
Keheningan tiba-tiba saja menyapu seolah kekacauan barusan bukanlah apa-apa.
Ini bukanlah keheningan biasa. Lebih terasa seperti semua kerusuhan yang tengah terjadi sengaja menghindarinya.
Lalu... Kerumunan makhluk itu berpencar. Terbelah seolah memberikan jalan kepada seseorang.
Dia datang...
Sosok berjubah biru. Muncul dari balik kerumunan.
Dia tidak berjalan ataupun melayang. Tiba-tiba hadir seolah gravitasi tidak berarti apa-apa baginya.
Kehadirannya membuat dadaku semakin sesak. Napasku tersenggal. Tulang-tulangku seperti diremukkan secara paksa. Emosiku semakin tidak stabil.
Dia berlutut disebelah tubuh Mama. Memiringkan sedikit kepalanya. Dia melihat tubuh Mama seperti anak kecil yang sedang melihat mainannya rusak.
Tatapan matanya... Ya Tuhan... Tatapannya seperti menarikku masuk. Mengalirkan hawa dingin hingga ke tulangku.
Senyumannya... Bukan seperti senyuman manusia. Itu adalah luka yang sengaja di ukir kedalam wajahnya, mulutnya meneteskan sesuatu yang lebih buruk dari darah.
Ekspresinya memperlihatkan kegilaan... Kekacauan... dan seolah menikmati keterpurukan yang dirasakan oleh makhluk lain.
Perlahan dia mengangkat kakinya...
Dengan tenang ia menginjak kepala Ibu... Dan memecahkannya.
"CRACK"
"MAMAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!" teriakanku bergema di udara.
Mama berhenti bergerak. Terkapar di tanah... Sekarang hanya tersisa tubuh dengan kepala yang hancur.
Wanita itu...
Setelah kejadian itu, Dia terus tersenyum ke arahku.
Mimpi ini tidak hilang.
Mimpi ini membusuk... Bersama aku di dalamnya...
Aku terbangun seperti baru saja tenggelam di lautan dalam. Badanku basah oleh keringat. Napasku terengah-engah dan tubuhku terguncang hebat seperti dihempaskan ke tembok beton. Rasa sakit meledak di tenggorokanku. Sesuatu yang hangat dari pelipis mengalir ke bawah kepalaku.
"Ahh... Aku tidak peduli..."
"Pip... Pip... Pip... Pip... Pip..."
Alarm jam tanganku berbunyi pelan.
"Mimpi itu lagi... Ini sudah yang ke empat kalinya di minggu ini." gumamku sembari mematikannya perlahan.
Lilin yang kunyalakan tadi malam sudah habis, meninggalkan sedikit residu sisa pembakaran.
Dingin...
Aku terduduk, mencoba mengatur napas.
Mimpinya... Tidak... Itu bukan cuma mimpi... Kuraba dan kutelusuri cairan hangat yang menetes dari pelipisku. Kudapati luka yang masih baru di kepalaku, itu masih meneteskan darah segar mengalir tipis ke mataku.
Suara Mama, sentuhannya, gelak tawanya... "STOP!!!" aku tidak ingin mengingat-ingat kejadian itu lagi.
Tanganku meraba di tengah kegelapan sampai menemukan buku catatan yang biasa ku bawa. Sampul kulitnya terasa lembab karena keringat, atau mungkin tanganku. Aku membukanya dan melihat seperti catatan baru seperti bukan aku yang menulisnya.
[Catatan, Hari ke-8]
Aku memimpikan mereka lagi.
Mungkinkah itu bukan hanya mimpi? Atau.. Aku salah ingat? Atau... Tembok ini! Yang setiap hari aku lihat mulai bersatu dengan kepalaku... Mungkin kesendirian ini mulai membuatku gila!
Mimpi itu adalah yang keempat kalinya dalam seminggu.
Retakan terakhir di tengkorak Ibu meledak seperti peluru meriam yang ditembakkan dari dekat... Akh aku bahkan bisa mendengar bunyinya di kepalaku.
Aku tidak tahu apakah mimpi ini adalah caraku bertahan...? Atau apakah perlahan mulai hilang kendali?!
Hari ini aku bangun lebih awal. Aku tidak bisa tidur kembali. Aku sudah menghitung 127 tetesan dari pipa PDAM sebelum aku berhenti menghitung.
Kadang aku berpikir, kalau aku mati di sini... Apakah tulangku akan hancur bersatu dengan beton-beton kota ini?
Tapi aku belum boleh mati sekarang! BELUM!!!
Entah kenapa, aku ingin melihat wajahnya lagi..! Dia yang memakai jubah biru itu. Aku tidak tahu siapa dia tapi dia tahu siapa aku dan suatu hari nanti. Aku akan membuat dia tahu... Bahwa aku yang tertinggal ini belum selesai!!!
Bayangan orang tuaku...
"Aku harap kalian baik - baik saja ya, Pah... Mah...."
Sudah lama aku tak bertemu mereka sejak pindah ke Kota J. Kini kota ini sekarang sudah berubah menjadi neraka. Aku hanya bisa berdoa... Semoga mereka bisa bertahan... Di mana pun mereka berada...
*** ***
Kupandangi lagi halaman terakhir catatanku. Tulisannya mulai tak beraturan. Tulisan tanganku memang jelek, tapi yang ini... Lebih seperti milik orang asing.
"Selamatkan anak kita..."
Suara dan sosok itu terbayang kembali. Jubah biru. Senyum sinis. Mata tanpa belas kasih.
"Dia bukan cuma mimpi!!!" Bisikku. "Dia nyata!"
Akhirnya kututup buku catatanku dan kupeluk dengan erat.
Keheningan menyapu lagi. Tapi itu hanya tipuan belaka. Aku bisa merasakan sesuatu yang datang dari arah terowongan.
Lalu... Samar-samar suara langkah terdengar... Jauh, tapi cukup tajam untuk membuat ototku menegang.
Aku beranjak perlahan, membawa senter kecil dan pisau lipat tua.
Aku mulai mengumpulkan keberanian. Kali ini, kuputuskan untuk berjalan lebih dalam ke lorong yang belum pernah kususuri.
Perlahan, aku mulai berjalan. Suara langkahku bergema.
Lorong yang ku telusuri kali ini lebih sempit dari tempatku berasal. Bau amis terasa lebih kuat disini seolah dindingnya menyimpan luka kota yang belum sembuh.
Beberapa meter kemudian... Aku melihatnya. Kuarahkan cahaya senter kecilku ke dinding.
Sebuah simbol.
Coretan seperti mata... Tapi dengan garis vertikal di tengahnya... Seperti belahan luka.
Di bawah simbol itu... Tertulis sesuatu...
"Mereka yang menolak tunduk... Akan dibersihkan."
Setelah melihat tulisan itu, tanganku gemetar. Bulu kudukku berdiri. Jantungku berdegup cepat. Darahku dipompa lebih cepat dari biasanya.
Tulisan ini bukan buatan orang panik. Ini bukan grafiti. Huruf-hurufnya tersusun rapi. Terukur dan terstruktur. Seolah ditulis oleh seseorang yang menikmati setiap goresannya.
Lalu... Langkah kaki!
"Tap... Tap..."
Sangat dekat... Di belakangku.
Udaranya berubah. Spontan aku berbalik.
Mendadak seluruh gorong-gorong terasa lebih sempit dari biasanya. Nafasku semakin pendek.
"Mereka sudah di sini," gumamku.
Atau lebih buruk... Mereka tahu aku di sini.
"LARI!"
Aku tidak sempat berpikir dan bergegas. Aku tidak panik... Aku hanya melangkahkan kakiku lebih lebar dan lebih cepat dari biasanya.
Lebih cepat. Lebih cepat.
Deru sepatuku bergema di seluruh lorong. Secercah cahaya naik turun menimbulkan bayangan yang tidak beraturan dari senter kecil yang kugenggam.
Tiba-tiba, angin dingin berhembus dari arah belakang. Hawa dingin itu menyentuh kulitku membuatku seluruh tubuhku gemetar. Kupacu kakiku. Langkahku semakin cepat. Kugunakan satu tangan untuk mematikan senter sambil setengah berlari berusaha mengatur napas.
Sesampainya di tempat persembunyianku, tanpa pikir panjang langsung kurapikan barang-barang yang tersisa. Tak ada waktu lagi.
"Aku harus bergerak sekarang juga. Aku harus pergi dari sini!!!"
Setelah semua perbekalan siap, kupanggul daypack hitam di punggung. Aku menatap sekali lagi shelter sederhana yang kutempati seminggu terakhir.
"Arrghh!!! Tak ada waktu untuk sentimentalitas."
Aku berlari kecil menyusuri gorong-gorong ke arah yang berlawanan dari lokasiku menemukan simbol aneh itu.
Jauh...
Semakin jauh...
Waktu berjalan tanpa aku sadari. Lebih dari tiga jam aku berlari kecil. Sunyi. Aman... Setidaknya sejauh ini.
"Semoga aku bisa menemukan tempat yang lebih layak..."
Waktu terus merayap, langkahku akhirnya berhenti di depan sebuah pintu teralis besi yang menempel di dinding lorong. Catnya sudah terkelupas, karat menjalar seperti luka tua yang tak hilang. Kuncinya masih menggantung di sisi bagian dalam... Aneh, seolah pintu ini menunggu seseorang. Sesaat aku ragu, tapi rasa penasaran ini terus menelan ketakutanku. Aku harus tahu apa yang ada di baliknya.
"Ngiiiiik"
Engsel pintu itu menjerit saat kudorong.
"Ah sial... Ternyata dibalik pintu ini adalah lorong lainnya." Keluhku lirih.
Lorong sempit lainnya menyambutku. Tapi kali ini... Ada yang berbeda. Tidak ada bau busuk. Lantainya lebih kering dan lebih bersih.
Aku terus berjalan. Sekitar lima belas menit kemudian, lorong itu bercabang.
Aku berhenti sejenak untuk istirahat, mengatur napas sembari berpikir.
"Lorong mana yang sebaiknya aku pilih?"
Mataku melirik ke kanan. Kuarahkan senter ke kiri dan ke kanan.
"Kanan jalan kebaikan, kan?" Aku tersenyum masam pada pikiranku sendiri lalu melangkah ke lorong kanan.
Beberapa menit kemudian, aku menemukan sebuah pintu lagi. Kali ini, berbeda. Pintu besi lainnya berwarna hitam. Bersih, terawat. Gagang pintu itu tampak masih mengkilap dan terawat.
Jantungku berdetak lebih cepat. Ada kehidupan di sini? Atau pernah ada?
Perlahan, tanganku meraih gagangnya lalu kutarik perlahan.
"Klak... Ngiiik..."
Pintu itu terbuka. Perlahan, kuarahkan senterku. Cahayanya menyapu setiap sudut. Kudapati sebuah ruangan berukuran sekitar 4x5 meter.
Di sisi kiri ruangan tersebut terdapat tempat tidur darurat berlapis kain tipis. Sedangkan di sisi kanan ruangan terdapat meja kerja kecil dengan tumpukan buku, kertas, alat tulis, dan sebuah radio tua yang tampak berdebu. Sebuah lampu pijar menggantung di atas meja, sepertinya sudah tak menyala.
"Mungkin ada yang pernah tinggal di sini..." gumamku
Mataku tertuju pada dinding dekat lemari, disana terdapat gantungan seragam PDAM yang sudah tertutup debu tipis.
"Mungkin ini tempat tukang pipa beristirahat."
Jam tanganku menunjukkan pukul 21.00.
Kakiku terasa berat. Punggungku pegal. Kurasa, tempat ini, cukup aman untukku beristirahat malam ini.
Setelah menyimpan semua barang dan mengunci pintu dari dalam, kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur darurat itu.
"Ahh... Akhirnya alas yang bukan batu. Ternyata ini lebih nyaman dari kelihatannya"
Kupeluk erat tasku di dada. Kubaringkan kepala. Dan perlahan, mataku terpejam.
Untuk pertama kalinya sejak hari itu.
Aku bisa tidur dengan nyaman. Meskipun hanya untuk sementara.
*** ***
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur.
Tapi aku terbangun karena mendengar suara. Bukan mimpi. Bukan ilusi. Ini nyata.
Suara berisik, seperti gesekan logam dan suara mendengung dari perangkat radio tua. Samar. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat mataku langsung terbuka lebar.
"Chhhhhhrrrrt... Krrrtt..."
Aku bangkit perlahan, duduk di tempat tidur darurat. Ruangan masih gelap, hanya cahaya samar dari senter yang kugantung di rak kayu menyinari sebagian tembok.
Radio tua itu, menyala sendiri.
Kedua tanganku langsung mencengkeram tali daypack. Nafasku mulai tak teratur.
Aku menatap radio itu. Lampunya berkedip beraturan. Suaranya seperti, sedang berusaha mencari sinyal?
"Ckkkhhh... Rrttt... Tolong... Siapa... Saja... Ckkrkkk"
Aku membeku. Suara itu bukan hanya suara acak. Ada kata-kata di dalamnya. Seseorang, atau sesuatu, sedang berbicara.
"Tolong... Aaaaaarghhh... Jangan!"
"Unit 6... Gagal... Kami tidak...!!!! Mereka masuk!!!!"
Lalu tiba-tiba...
"Ssssssttttt..."
Suaranya hilang. Lampu radio padam seketika. Ruangan menjadi hening kembali. Bahkan detak jantungku terdengar lebih keras daripada apapun.
Aku tetap duduk... Terdiam menatap radio yang kini mati seperti sebelumnya.
"Apa itu barusan?" bisikku nyaris tak terdengar. "Siaran? Atau, rekaman otomatis?"
Aku menoleh ke pintu. Mengamati celahnya. Tak ada suara dari luar. Tak ada langkah kaki. Tapi entah kenapa, udara di ruangan ini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
"Apa ada orang lain yang masih hidup?"
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Jika iya, kenapa suaranya terdengar seperti sedang sekarat?
Aku bangkit perlahan dan mendekati radio tua itu.
Kutekan tombolnya berulang kali tetapi tidak menyala.
Kutarik kabelnya, kusambungkan ulang ke port listrik darurat yang menempel di dinding, tetapi tetap tidak ada reaksi.
"Ini, mustahil." gumamku.
Radio itu mati. Tapi sebelumnya menyala sendiri. Dan mengirimkan suara seseorang yang terdengar seperti, pesan terakhir.
Aku kembali duduk di tepian tempat tidur darurat, kali ini tidak bisa tidur.
Aku merasa, sesuatu sedang mengarah ke sini.
Dan radio tua itu, mungkin hanya peringatan awal.
*** ***
Waktu sudah berjalan begitu cepat, sekarang sudah hari ke-30.
Sudah satu bulan aku bertahan di bawah tanah.
Air minumku sudah tinggal sedikit. Sumber tetesan dari pipa utama sudah mulai kering sejak seminggu lalu. Aku tak tahu apakah salurannya rusak, atau sistem kota ini benar-benar sudah mati.
Makananku, hanya tinggal sepotong dendeng dan tiga keping biskuit kedaluwarsa. Tak ada pilihan.
Aku terdiam cukup lama. Duduk memandangi radio tua yang kini benar-benar mati. Lampunya tidak pernah menyala lagi sejak malam itu.
Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu kuputuskan untuk menulis di buku catatanku.
[Hari ke-30]
Persediaan sudah menipis
Air hampir habis.
Aku harus bergerak.
Ini mungkin hari terakhirku di sini.
Aku akan naik ke permukaan.
Kututup buku itu perlahan, lalu kuselipkan ke dalam tas. Kukemas semua barang yang kuperlukan. Pisau lipat, pemantik, senter, kotak P3K kecil, dan sisa makanan terakhir. Daypack hitam itu kini terasa lebih ringan. Terlalu ringan.
Kupandangi ruangan tempatku tinggal selama sebulan terakhir.
Meja itu. Kasur darurat itu. Radio tua itu. Semua barang yang ada dalam ruangan itu jadi saksi bisu bagaimana aku menolak untuk mati.
"Terima kasih sudah menemaniku," bisikku.
"Tunggu... Mungkin radio itu akan berguna nanti." kuputuskan untuk membawa juga radio tua itu.
Aku membuka pintu dan kembali menyusuri lorong-lorong gorong-gorong yang sekarang terasa lebih sempit dan lebih sunyi. Seperti menahan napas bersamaku.
Langkahku mantap. Aku tahu ini berbahaya. Tapi diam di sini bukan pilihan lagi.
Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, aku menemukan tangga logam tua yang menjulang ke atas.
Aku menatap tutup manhole di atas kepalaku. Cahaya samar terlihat merambat dari celah pinggirnya. Entah sinar matahari, atau sesuatu yang lain.
Kutempelkan telingaku ke logam penutup itu.
Sunyi.
Perlahan-lahan, kuputar baut penahannya. Suara logam yang bergesekan langsung membuat jantungku berdegup kencang.
"Ngiiiiiik... Sreeet..."
Kupaksa penutup itu terbuka perlahan. Bau udara luar langsung menyambutku. Bau busuk dan amis. Tapi lebih segar daripada udara dalam gorong-gorong.
Aku mengintip. Kota ini, bukan kota yang kukenal.
Bangunan-bangunan tinggi menjulang dalam diam, sebagian hancur, dilumuri noda hitam. Beberapa jalan tertutup reruntuhan. Darah kering masih menempel di dinding dan trotoar. Mayat yang tergeletak sudah tidak terlihat utuh... Hanya tersisa tulang-belulang yang terbalut sedikit daging yang sudah membusuk di jalan.
Aku keluar perlahan. Berdiri tegak untuk pertama kalinya dalam sebulan.
"Selamat datang kembali, permukaan..." Gumamku, lirih.
Kota ini sudah mati. Tapi aku masih hidup.
Dan aku... Lapar.
Langkahku menyusuri jalanan kota yang mati. Puing-puing reruntuhan masih berserakan di mana-mana. Mobil-mobil hangus seperti tulang-tulang logam yang ditinggalkan. Tidak ada suara selain langkah kakiku dan angin yang menyapu debu.
Tiang lampu jalanan roboh seperti tertidur di jalanan.
Kupikir, aku sudah siap menghadapi pemandangan ini. Tapi ternyata tidak.
Kondisi ini, lebih sepi dari yang kubayangkan. Lebih mengerikan. Hanya tersisa keheningan.
Aku berjalan sekitar tiga blok dari titikku muncul tadi. Di ujung jalan, akhirnya aku melihatnya bangunan dengan papan rusak bertuliskan "Super J Market".
Supermarket ini dulunya besar, selalu ramai oleh pengunjung. Sekarang, bangunan ini seperti tengkorak kosong yang menunggu dikeruk isinya.
Aku memeriksa sekeliling. Aman. Tidak ada gerakan, tidak ada suara.
Lalu... Perlahan kuhampiri pintu masuknya yang sudah patah. Kacanya retak, sebagian pecah. Kudorong pelan dan berhasil masuk.
Gelap...
Debu tebal menempel di rak-rak barang. Beberapa barang masih tersisa seperti bungkus mi instan, botol air kosong, kaleng makanan, kebanyakan penyok tetapi masih layak untuk dikonsumsi. Sepertinya tempat ini sempat dijarah oleh orang lain. Walaupun aku berharap aku dapat bertemu orang lain dalam kondisi seperti ini tetapi mungkin memang lebih baik aku tidak bertemu mereka sama sekali.
Dalam kondisi seperti ini, insting bertahan hidup manusia sudah pasti keluar dengan sendirinya dan akan menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup.
"Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus berebut makanan sisa dengan orang-orang lapar." Gumamku lirih.
Bukan karena aku tidak punya empati kepada mereka, tapi aku juga harus mempertahankan kelangsungan hidupku sendiri.
"Jika kesendirian ini dapat menyelamatkan diriku sendiri, mengapa aku harus bergabung dengan orang lain." pikirku.
Aku menyusuri lorong demi lorong dengan senter kecilku. Tanganku mulai mengumpulkan barang-barang yang masih bisa dimakan. Dua kaleng kornet, satu pack biskuit protein, dan satu kotak teh celup.
"Lumayan daripada tidak ada sama sekali." Gumamku sambil memasukkannya ke dalam tas.
Setelah mengumpulkan sisa makanan, kulanjutkan eksplorasi untuk mencari peralatan yang mungkin nanti akan berguna kedepannya seperti baterai cadangan untuk senter kecilku, pisau cutter, tali, dan peralatan lainnya.
Tiba-tiba, senterku meredup. Lalu... Mati.
"Apa? Sekarang?"
Kutepuk-tepuk kepalanya. Tidak berhasil. Hanya kegelapan yang tersisa. Tanganku berusaha menggapai rak. Panik mulai menjalar. Nafasku mulai cepat.
Dan kemudian...
"...Masih hidup rupanya..."
Suara itu. Suara yang sangat aku kenal... Tapi tak seharusnya ada di sini.
Aku menoleh cepat ke kanan. Mataku bergerak liar mencari sumber suara. Tetapi tidak ada siapa-siapa.
"Kamu keras kepala sekali ya, Park Jaya Wiguna..."
Kakiku mundur perlahan. Nafasku memburu. Suara itu bergema di seluruh ruangan. Lembut, tajam, seperti bisikan yang mengiris kulitku.
Dari sudut mata, aku melihatnya.
Sosok berjubah biru.
Dia berdiri di ujung lorong. Tubuhnya miring, seperti sedang menikmati pemandangan. Matanya menatapku. Pucat, dalam, dan kosong.
"Ibumu sempat menjerit, ingat?"
"Kau pikir dia bisa diselamatkan?"
Tanganku gemetar. Suara itu menggema di kepalaku. Dadaku sesak. Aku menunduk sambil menggenggam kepalaku.
"Diam... diam... diam...!" Teriakku pelan.
Tapi suara itu semakin kuat. Tertawa. Merangkak di dinding pikiranku seperti belatung yang merayap di daging busuk.
"Ayo Park Jaya Wiguna..."
"Buktikan kau lebih dari sekadar anak yang tertinggal hi hi hi hi hi......." Tawanya bergema dan perlahan hilang...
Saat aku menengadah, sosok itu sudah tidak ada.
Hanya lorong kosong. Hanya kegelapan. Hanya aku berdiri sendiri dengan keringat dingin membasahi tubuhku.
Senterku tiba-tiba menyala kembali. Redup. Tapi cukup untuk sedikit menenangkan pikiranku.
Aku terduduk di lantai dingin supermarket. Napasku masih belum teratur. Tanganku memeluk tas erat-erat.
"Kau tidak nyata... Kau tidak nyata... Ini hanya... Suara dalam kepalaku."
Tapi jauh di dalam hati, aku tahu...
Dia ada.
Dan dia menungguku.