Sebelum Kota Terbangun

Bulan tampak merah.

Sinarnya meredup, perlahan ditelan awan kelabu yang menggantung seperti potongan daging busuk di langit. Angin malam menyusup dari celah gedung-gedung tua yang berdiri bagaikan nisan raksasa. Hembusannya menggigit kulitku yang dingin karena terlalu lama bersatu dengan hawa mati di sekitarnya. 

Tak ada suara selain angin dan pikiranku sendiri.

Sepi... Sunyi... Senyap...

Aku berbaring di lantai beton, puncak gedung tempatku pernah bekerja saat dunia masih baik-baik saja. Saat gerbang itu belum membawakan neraka ke tempat ini. Kini gedung ini hanyalah bangkai kosong yang menyimpan jejak masa lalu dan berbagai kenangan buruk.

Sesekali aku melirik ke jam tangan di pergelangan kananku. Waktu menunjukkan pukul 20.00, 14 Agustus 2035.

Hari ke-46 sejak dunia berhenti normal.

Hari ke-46 sejak aku jadi satu-satunya suara di kepalaku. Waktu terasa berjalan sangat cepat. Padahal aku hanya sendiri di sini.

Lucu sekali... Dulu aku sangat membenci jam tangan ini karena ini adalah hadiah ulang tahun dari Pamanku. Dia memberikannya setelah mengoceh panjang lebar tentang "disiplin waktu adalah napas seorang prajurit!"

"Aku tidak akan pernah melupakan pelatihan nerakamu wahai Pamanku" senyumku terkekeh.

Malam ini terasa lebih sepi... Lebih sunyi dari biasanya.

Sudah sebulan lebih aku hidup seperti ini. Berusaha untuk bertahan dengan melakukan apapun yang aku bisa dan tetap berpikiran positif. Setidaknya walaupun aku sering menahan lapar, kewarasanku tetap terjaga. 

Terkadang aku melamun... Memikirkan kejadian yang sudah aku lewati dan berusaha mencernanya dengan akal sehatku. Tapi semua peristiwa itu memang mustahil untuk diterima dengan akal sehat dan itu selalu membuatku gusar dan gelisah. Apalagi suara misterius itu yang terus memanggil namaku membuat kewarasanku semakin goyah... 

Sejak... Mimpi buruk terakhirku di supermarket dan halusinasi yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Terasa sangat nyata...

"Mimpi buruk yang berulang, halusinasi akan makhluk angkuh tak berperasaan..."

Aku menatap langit.

"Ah, itu tidak nyata," ujarku, setengah meyakinkan diri sendiri. Tapi suaraku tak meyakinkan.

"Suaranya... Nyata. Sentuhannya... Juga nyata..."

Kepalaku berdenyut. Aku menghela napas panjang dan bangkit berdiri.

"Sudahlah, lebih baik aku kembali ke dalam."

Aku kembali turun dari atap menuju lantai tiga belas, melewati lorong kantor yang masih meninggalkan bau AC yang sudah lama mati dan debu halus yang menggantung di udara.

Tidak ada pasokan listrik sejak minggu lalu. Sepertinya genset cadangan perusahaan sudah kehabisan bahan bakar untuk bekerja. Aku sedikit bersyukur karena senter kecilku setia menemani kemanapun aku pergi.

Kakiku terus melangkah perlahan menyusuri koridor yang gelap. Koridor ini dulunya penuh dengan orang sibuk. Sekarang hanya tersisa bayangan dari cahaya senter yang bergelayut di dinding.

Aku tiba di depan ruang kerja Direktur, tepat di ujung lorong. Pintu kayu nya tebal berpelitur. Gagang pintunya dingin dan sedikit berdebu, tapi tidak terlalu lengket. 

Dulu, siapa pun yang hendak masuk ke ruangan ini harus mengetuk tiga kali dan menahan napas di hadapan si Raja Kantor.

Sekarang... Pintu ini adalah gerbang ke satu-satunya ruangan yang terasa aman.

Ku tempelkan kartu akses, "Pip." Aku mendorongnya dan perlahan dan masuk.

Ruangan besar yang dingin, sunyi, dan anehnya terasa aman. Mungkin karena ini adalah ruangan orang nomor satu di perusahaan, jadi ruangan ini dilengkapi berbagai fitur canggih. 

Disaat seluruh kota tenggelam dalam kegelapan, ruangan ini masih mempunyai cadangan daya dari panel surya di atap. Walaupun dayanya hanya cukup untuk menjaga pintu akses agar tetap hidup.

Ruangan ini masih menyisakan aura kekuasaan. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal yang dulunya mungkin berkilau, kini kusam diselimuti debu dan sarang laba-laba. Dinding-dindingnya dilapisi panel kayu berwarna coklat tua dengan wallpaper berwarna krem berhiaskan batik bermotif sulur tanaman dan bunga berwarna emas.

Cahaya bulan menembus dari balik jendela dengan kaca tebal yang luas di sisi timur, menerangi bagian tengah ruangan. Cahaya itu membentuk siluet perabot sebuah meja kerja besar dari kayu jati gelap, penuh ukiran klasik di sisinya dengan bentuk naga dan bunga teratai yang mengular hingga ke kaki meja. Meja itu tampak kokoh.

Macbook di atas meja masih berdiri tegak, layarnya gelap. Keyboardnya miring, seolah bergeser terburu-buru menandakan ruangan ini mungkin sempat ditinggalkan dalam keadaan panik. 

Di sebelahnya tumpukan dokumen setinggi botol air mineral, tersusun rapi menunggu untuk dibuka. Ada juga set pena logam yang tersusun dalam rak kayu kecil, berjejer seperti peluru-peluru kecil siap tembak, lalu ada gelas bekas kopi dengan noda bekas bibir di ujung gelas. Kopinya sudah mengerak dan sedikit berjamur menandakan bahwa pemiliknya masih sempat bersantai sebelum meninggalkan ruangan ini.

Di belakang meja, berdiri lemari kaca kabinet dua pintu, berisi berbagai cenderamata, buku manajemen bisnis, serta dua botol wine lokal yang belum dibuka. Salah satu pintu lemari itu tergeser sedikit terbuka, menggantung di engselnya.

Di sudut kiri ruangan berdiri sebuah brankas hitam setinggi pinggang dengan kunci digital... Diam tak tersentuh.

Di sisi kanan ruangan tergantung lukisan-lukisan abstrak besar, kebanyakan dengan sapuan warna merah dan oranye menyerupai kobaran api. Salah satu lukisan condong, seperti miring karena guncangan gempa kecil. Di bawahnya bersandar bendera Indonesia... Terikat di tiang logam perunggu yang masih tegak, namun kainnya sudah mulai berdebu.

Yang paling menarik perhatian adalah sofa panjang berlapis kulit berwarna hitam di tengah ruangan. Kulitnya sedikit retak, tetapi tetap tampak empuk jika digunakan.

Di depannya terdapat sebuah meja kaca bundar dengan kaki-kaki dari kayu dengan ukiran wayang golek berupa tokoh Bima dan Dursasana terukir dengan teliti di sana. Kaca meja itu penuh bercak debu dan sidik jari pudar yang belum sempat hilang. Disisi lain meja itu masih ada beberapa post-it yang menempel di sana-sini. Salah satunya berbunyi...

"Reminder: deadline laporan jam 5 sore. NO EXCUSE."

Aku menghela napas...

Di tengah neraka ini, post-it itu masih menuntut kesempurnaan. Dia tidak akan pernah puas hanya dengan kata selesai atau sudah dikerjakan. Semua hal yang berhubungan dengannya harus sempurna.

Aku menarik napas panjang. Memikirkan masa lalu membuatku muak.

Kulangkahkan kakiku perlahan ke arah jendela besar yang menghadap ke kota yang telah porak-poranda. Perlahan kubuka sedikit daun jendelanya, membiarkan angin malam masuk dan mengusir udara pengap di dalam ruangan.

Mataku terpejam sesaat, menikmati hembusan angin malam yang menghampiriku dengan lembut. Kuletakkan tanganku di bingkai jendela. Pandanganku terarah ke reruntuhan kota yang sudah mati. 

Saat hendak kembali ke ruangan, tak sengaja aku melihat ke arah bingkai jendela tempatku tadi menyandarkan tangan. 

"Tebal juga kacanya" ujarku dengan senyum tipis. "Mungkin sekitar empat puluh sampai empat puluh empat milimeter. Mungkin cukup kuat untuk menahan peluru sniper." 

Selain perfeksionis, Direkturku ini juga sangat paranoid. Hal itu terlihat dari kaca antipeluru yang terpasang di sini, menjadi tameng utama bosku dari kebencian orang-orang yang muak dan membencinya.

Tak heran...

Dia mungkin kaya dan mempunyai segalanya. Istri yang cantik, rumah mewah, koleksi mobil sport, dan harta yang tidak akan habis sampai tujuh turunan, tapi dia bukan orang baik. Pelitnya sampai ke tulang, dan hobinya... Jika harus disebutkan, adalah membully dan memanfaatkan siapa pun yang lemah, termasuk aku.

Dia tidak segan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya atau siapapun yang tidak menuruti perkataannya. Cukup dengan satu perintah saja untuk membuat seseorang menghilang dari peredaran. Tidak peduli dia sedang apa atau, bagaimana situasi dan kondisi saat itu. Apakah sedang di tengah-tengah rapat, main golf, memantau stafnya bekerja. Tidak jarang juga berbagai umpatan keluar dari mulutnya yang kotor. 

Desas desus mengatakan kalau dia mempunyai koneksi dengan orang-orang dunia bawah... Ada yang mengatakan juga kalau dia mempunyai berbagai koleksi senjata dari mulai senjata tajam hingga senjata api sebagai alat untuk "Membela Diri" atau untuk menghilangkan siapapun yang mengusik dirinya. 

Di sisi lain ruangan ini terdapat sebuah pintu besi besar dengan handle model putar. Sudah kucoba membukanya beberapa kali, tapi pintu itu masih terkunci. Dugaanku, itu adalah gudang senjata miliknya. Tapi aku belum menemukan kuncinya hingga kini. Mungkin saja dia menyembunyikannya dengan cara yang sangat egois, seperti sifat aslinya.

Aku bersyukur aku memutuskan untuk bersembunyi di sini. Sekarang, setelah semua kekacauan ini terjadi, tempat ini jadi salah satu tempat paling aman di kota ini... Setidaknya menurutku.

Akses masuk ke ruangan ini bisa dikunci secara manual dan otomatis. Aku beruntung tahu letak mekanismenya karena dulu sering disuruh mengantar surat-surat masuk dan laporan penting. Kadang aku merasa... Ruangan ini adalah semacam simbol kekuasaan terakhir yang masih tersisa dari dunia lama. Tapi sekarang, aku yang memilikinya.

Ironis.

Terkadang aku masih menyesali keputusanku terdahulu... Bisa-bisanya aku melamar pekerjaan di perusahaan sinting ini. Padahal aku tahu, aku bisa dapat pekerjaan yang lebih baik dari ini.

Nasi sudah menjadi bubur... Sistem kontrak mereka sangat kejam. Kontrak kerja yang menjadikan ijazahku sebagai jaminan. Kalau aku berhenti sebelum masa kerja selesai, aku tidak akan pernah mendapatkan ijazahku kembali.

Hal itu yang memaksaku untuk bertahan di perusahaan ini. Meski dengan gaji yang bahkan lebih kecil dari staf biasa.

Tugasku dianggap sepele. Hanya mengantarkan setiap dokumen dan laporan dari satu lantai ke lantai lainnya. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Banyak laporan yang harus aku susun ulang karena isinya seperti bangkai pemukiman padat yang tersapu oleh gelombang tsunami. Banyak karyawan yang asal-asalan dalam bekerja. Ketika aku menanyakan sisa laporannya dan menumpahkan keluhanku pada mereka, selalu ada saja alasan yang mereka berikan. "Data belum lengkap" atau "Itu semua yang saya dapat."

Ketika ku antarkan surat ke si bajingan itu... Si Direktur brengsek yang tidak pernah peduli dengan bawahannya, dia langsung membentak tanpa ragu...

"Pokoknya laporan yang saya terima harus sempurna!!!" katanya.

Jadi, siapa yang akhirnya harus menyempurnakan laporan itu? Aku. Lagi dan lagi.

Kalau aku mengingat masa-masa itu... Rasanya muak. Sakit hati. Kesal.

Tapi lucunya, sekarang aku disini. Masih berdiri. Masih bernafas.

Aku senang karena aku dapat bertahan di tengah-tengah neraka ini. Setidaknya... Aku tidak lagi menjadi pesuruh dari bos bajingan itu. Aku tidak lagi bekerja di lingkungan yang membuatku kehilangan harga diri setiap hari.

Setelah memikirkan semua kejadian itu, aku duduk di sofa, menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

"Lucu sekai... Dahulu, aku merasa hidup ini terasa seperti mayat hidup. Sekarang, mayat-mayat itu malah berjalan di luar sana... Dan aku... Masih bisa bernapas."

Aku tertawa kecil. Tawa yang hambar, lebih seperti gumaman putus asa.

"Kalau ini bukan karma, aku tidak tahu lagi apa yang lebih cocok."

Kutatap sekeliling ruangan itu. Perlahan aku kembali beranjak dari sofa menuju ke meja kerja.

Meja besar tempat Direktur bajingan itu duduk, sekarang menjadi tempatku menulis catatan harian. Kulihat lagi kondisi meja tersebut dan pandanganku berakhir di foto keluarga Direktur bajingan itu.

Tanganku bergerak perlahan menyentuh bingkai itu.

"Apakah kamu masih hidup, Pak?" senyumku kecut.

Tiba-tiba...

"AAAAAAAARRRGGHHH!!! TIDAAAAK!!! JANGAAAN!!!"

Jeritan seorang perempuan terdengar sayup dari luar jendela.

Tubuhku membeku. Bulu kuduk ku berdiri. Mataku terbelalak.

Aku berlari ke arah jendela. Mengeluarkan wajahku dari bingkai jendela. Kuarahkan kepalaku, mataku liar melihat ke segala arah mencari sumber suara. Tapi di bawah sana... Hanya gelap. Jalanan sepi. Tak ada gerakan. Tak ada tubuh. Tak ada suara lain yang menyusul setelah jeritan itu.

Sunyi. Lagi-lagi sunyi.

Kali ini, bukan kesunyian yang sama seperti sebelumnya...

Dadaku mulai berdebar kencang. Adrenalin mulai naik ke kepala.

Tiba-tiba aku tersadar... Ini bukan saatnya diam.

"Jika masih ada penyintas... Kalau memang masih ada yang bisa diselamatkan, aku ingin menyelamatkannya... Tapi... Bagaimana jika aku bertemu dengan salah satu makhluk mengerikan itu? Tekad dan keberanian saja tidak cukup untuk melakukan itu."

Kembali aku teringat mimpi buruk yang berulang kali kualami. Ketidakberdayaan saat aku melihat kekacauan terjadi. Hanya bisa menangis dan menjerit ketika melihat sosok angkuh itu berdiri di samping tubuh Ibu dan menghancurkan kepalanya.

"Aku tidak bisa hanya diam dan melihat. Aku harus melawan! Aku perlu senjata." 

Aku menatap ke arah pintu besi di ujung ruangan yang tidak pernah bisa terbuka. 

Hatiku bergetar.

Aku berbalik, memutar pandanganku ke seluruh ruangan. 

Detak jantungku belum juga melambat setelah mendengar jeritan perempuan tadi.

Suaranya masih bergema di kepala... Panik, putus asa, lalu... Hening.

Aku berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan.

"Berpikir Jaya... Berpikir." Kedua tanganku menepuk-nepuk kepalaku.

Pandanganku tajam, menyisir setiap sudut ruangan dengan senter kecilku.

"Aku tidak bisa menunggu. Tidak malam ini." Ucapku sambil menggelengkan kepala.

"Aku butuh sesuatu untuk bertahan..."

Pintu besi itu seolah terus menatapku. Diam... Tapi seakan mengejek kondisiku yang sedang kebingungan.

Kukepalkan tangan, tekadku untuk menemukan kunci itu semakin bulat, lalu mulai bergerak cepat.

Kubongkar setiap bagian ruangan satu per satu.

Ku lempar bantal sofa, kuangkat karpet. Kumasukkan tangan ke bawahnya, berharap ada sesuatu yang terselip di sana.

Kosong.

Aku beralih ke lemari kaca.

Kulemparkan buku-buku manajemen dan motivasi palsu itu. Ku kibaskan debu nya satu per satu, kutepuk-tepuk lapisan kayu bagian dalamnya.

Tidak ada yang mencurigakan.

Kubuka kabinet kecil di pojok ruangan, tempat si bajingan itu menyimpan wine lokal kesukaannya.

Kaca botolnya masih utuh, tak disentuh siapapun sejak hari terakhir kantor ini bernyawa.

Kutepuk dinding belakang lemari... Kosong. Hanya suara pantulan hampa menggema di ruangan.

Lanjut ke bawah meja kerja.

Kuamati sela-sela kaki mejanya yang kokoh dan penuh ukiran. Kumasukkan tanganku ke bagian bawah laci, mencoba meraba kalau-kalau ada celah tersembunyi. Tapi nihil.

Kukibas tumpukan dokumen, membuka satu per satu map arsip yang tampaknya tidak pernah disentuh lebih dari satu bulan. Bahkan beberapa kertas sudah menggulung karena lembap.

"Tidak mungkin kuncinya ditaruh sembarangan..." desisku mulai frustasi.

Aku melirik kembali ke brankas. Berharap kuncinya bukan untuk itu. Tapi tetap saja, tak ada tombol tersembunyi. Tak ada lubang jebakan di sisi bawah atau belakangnya.

Kukejar kemungkinan terakhir.

Kakiku menuntunku ke arah gantungan baju di sudut ruangan. Ada satu jas hitam, tergantung muram. Kuselipkan tangan ke sakunya.

Hampa.

Lalu ke jaket lainnya. Ada yang lebih berat. Tapi saat kutarik... Hanya gantungan kunci mobil dan tiket parkir yang sudah usang.

"Sialan...!!!" Napas ku mulai berat.

"Kalau aku jadi dia, di mana akan kusimpan kunci bodoh itu...??!!!"

Aku berdiri diam di tengah ruangan. Terdiam beberapa saat sambil melihat lampu kristal yang tergantung. Mataku perlahan menyapu seisi ruangan sekali lagi. Semua tempat sudah ku periksa.

Kuusap dahiku hingga tangan menutupi pelipis dan wajah. Kututup mata sejenak.

Kutarik napas panjang.

Mataku kembali melirik ke arah meja kerja. Meja besar yang pernah menjadi singgasana si bajingan itu. Meja yang selalu membuatku muak setiap kali harus datang membawa laporan.

Perlahan kulangkahkan kakiku mendekati meja kerja.

Senter kecil di tanganku menyapu permukaannya. Ku pelototi setiap sisi, sudut, lekukan, dan bahkan bawah mejanya. Kupastikan tak ada yang terlewat.

Kubuka lacinya satu per satu.

Kanan atas, kosong. Kanan bawah, hanya alat tulis. Kiri atas, penuh dengan notes dan memo tempelan. Kiri bawah... Kosong juga.

Namun saat kuamati lebih teliti laci kiri bawah itu, ada sesuatu yang aneh. Dasarnya terasa lebih tebal dari laci lainnya. Kupukul pelan. Bunyi pantulannya tak sama.

"Hmm..."

Kusentuh bagian tepinya. Kupaksa tarik dasar laci itu, berharap ada celah... Dan benar saja.

Ada sebuah celah tipis yang menunjukkan bahwa di balik dasar laci ini ada laci lainnya.

Mataku melebar.

"Bangsat..." Gumamku lirih.

Kucoba menarik dengan kuku jariku. Tapi tetap tidak bergerak.

Ada lubang kecil di pojok bagian dasar laci kecil itu. Bentuknya seperti tempat kunci.

"Tentu saja... Tentu saja dia pakai kunci tambahan..." Desahku sambil mengacak rambutku sendiri.

Kulepas tanganku dari laci itu dan berdiri perlahan.

Aku kembali berdiri di tengah ruangan. Memandang sekeliling. Sekarang aku tahu apa yang kucari. Kunci kecil untuk membuka laci tersembunyi itu.

Tapi... Di mana?

Kembali kubuka kabinet, laci lemari, ku balikan bantal sofa, bahkan memeriksa bagian bawah meja kaca.

Tidak ada apapun.

Aku mulai merasa frustasi lagi. Sungguh menyebalkan!!!!

Kutenangkan lagi diriku. Napas mulai teratur.

"Apa mungkin dia menyimpannya di tempat yang paling dekat...? Tempat yang sering dia lihat..." Pandanganku berhenti di atas meja kerja. Dan kali ini, aku benar-benar memandangi bingkai foto itu.

Gambarnya masih sama. Wajah tersenyum. Kebahagiaan yang... Mungkin palsu.

Tapi sekarang bukan senyumnya yang kuperhatikan. Melainkan bingkainya.

Kuambil dengan hati-hati. Ku periksa setiap sisinya. Bagian kanan terasa berbeda.

Ada tonjolan kecil di dalamnya. Kulit kayunya terlihat seperti bisa dilepas.

Kuputar bingkai itu, mencarinya dari sisi yang lain. Tapi tidak ada tombol. Tidak ada engsel. Kucoba untuk menarik paksa... Tetap tidak bisa.

Kuputar. Tidak bisa.

Kutepuk pelan. Tidak ada suara mekanik.

Karena frustasi, aku hampir saja melemparnya tapi kutahan. Malah kutaruh bingkai itu ke lantai dan kuketuk pelan dengan gagang senter.

"Tok... tok..." Lalu, bunyi "klik" Seperti ada kait kecil terlepas.

Perlahan kutarik sisi kanan bingkai... Dan...

"Clack."

Sebuah kompartemen kecil terbuka.

Di dalamnya ada sebuah kunci besi mungil, dengan ukiran kecil di gagangnya. Tampak elegan dan sombong, seperti pemiliknya.

Aku tersenyum tipis.

"Got you...!"

Kembali kuarahkan kakiku ke meja kerja. Kuselipkan kunci itu ke lubang kecil di dasar laci tersembunyi tadi. Kuputar.

"Klik... Sreeet"

Laci itu terbuka perlahan, memperlihatkan isinya. Disitu terdapat kunci lain berukuran lebih besar, dengan tag logam kecil bertuliskan (Punyaku).

Aku tertawa kecil.

"Tentu saja. Milikmu, ya?"

Di bawah kunci itu, terdapat beberapa dokumen berupa beberapa paspor dengan nama yang berbeda, dua KTP atas nama palsu, beberapa kartu kredit, dan secarik kertas kecil dengan angka kombinasi berjumlah enam digit.

Aku mengambil semuanya, lalu melangkah pelan ke pintu besi di sisi ruangan.

Kupasangkan kunci besar ke lubangnya. Kutarik nafas dalam.

"Klik..."

Lalu kuputar gagangnya.

"Ngiiiiiiik..."

Pintu besi itu terbuka perlahan. Derit engsel yang sudah berkarat terdengar menyayat, menggema di dalam ruangan yang gelap gulita di baliknya.

Aroma logam berkarat langsung menerpa hidungku, bercampur bau minyak mesin dan sesuatu yang samar, seperti bau bubuk mesiu yang telah lama mengendap.

Kuarahkan senter kecilku. Cahaya tipis menyusuri ruangan sempit berukuran sekitar 3x4 meter itu. Dindingnya dilapisi plat baja kusam, dengan beberapa bercak karat yang mulai merambat dari bagian bawah.

Ruang ini dingin. Tidak seperti ruangan direktur yang terasa lembap hampir termakan oleh waktu, tempat ini justru terasa seperti... Beku. Mati. Diam tak bergerak.

Pandangan mataku terpaku. Aku hampir tidak mempercayai apa yang kusaksikan ini.

"Ini..." Bibirku bergetar pelan.

Rak logam di sisi kiri ruangan berdiri kokoh, dipenuhi deretan senjata api. Beberapa pucuk rifle AK-47, M16, AR 15, dan M1A tersusun rapi di atas dudukan baja, mengkilap dalam temaram cahaya. 

Di sebelahnya, meja pajangan yang memamerkan deretan handgun dengan berbagai jenis kaliber disertai kotak-kotak peluru yang ditata rapi seperti:

Kaliber 9mm Glock 17, 19, 26, 34, Beretta M9, Beretta 8000, Lahti L-35, MP9.

Kaliber 5.7x28mm FN Five Seven.

Kaliber .44 Magnum Desert Eagle.

Kaliber 7.63x25mm Astra Model 903, Mauser C96.

Kaliber .25 ACP FN Baby Browning, Mauser Model 1914.

Kaliber.58 ball Harper's Ferry Model 1805.

Tak ketinggalan, beberapa jenis revolver juga terpajang, seperti Freedom Arms Model 83/97, Glisenti M1874, Llama Scorpio, dan Colt Anaconda. 

Semuanya tersusun di atas kain beludru hitam, seolah mereka adalah koleksi antik, bukan alat pembunuh.

Di sisi kanan terdapat lemari kaca, tidak seperti rak senjata api tadi. Yang satu ini lebih seperti museum pribadi. Di dalamnya dipajang berbagai senjata tajam dari berbagai negara dan budaya.

Yang paling mencolok adalah Katana dengan sarung bersulam benang emas, keris dengan sembilan lekuk yang tampak seperti ombak, badik dengan gagang tanduk mengilap, mandau dengan ukiran rumit di bilahnya, hingga sebilah karambit berdarah dingin yang mencuri perhatian karena bentuknya seperti cakar setan.

"Astaga..."

Kuusap wajahku dengan satu tangan.

"Ini bukan cuma gudang senjata. Ini... Koleksi kegilaan. Apakah dia bersiap untuk perang melawan zombie atau semacamnya?!"

Di sudut belakang ruangan ada sebuah meja kerja terbuat dari besi dengan laci-laci kecil. 

Di atasnya berserakan amunisi berbagai ukuran, peluru kaliber besar, peluru karet, peluru tajam, bahkan granat kejut dan asap yang membuatku sedikit mundur karena terkejut.

Mataku menyapu permukaan meja itu perlahan. Tanganku terulur, gemetar...Bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu yang belum bisa aku pahami dari dalam diriku sendiri.

Kubuka satu demi satu laci kecil. Beberapa berisi kain pembersih senjata, pelumas, dan beberapa alat kecil untuk perawatan senjata. 

Laci paling bawah berisi pistol lainnya yang dibungkus kain beludru. Kulihat ada dua, satu Glock 19 dan satu lagi revolver tua, mungkin peninggalan era militer.

Kupilih Glock 19 terlebih dahulu. Beratnya pas di tangan, grip-nya kasar tapi nyaman. Tanganku otomatis mengecek slide dan memeriksa chamber. Gerakan yang masih menempel seperti yang diajarkan Pamanku dulu. Paman yang gila disiplin. Paman yang memaksaku bangun pukul empat pagi hanya untuk merayap di lumpur dan menahan napas selama lima menit di sungai keruh. Aku membencinya... Tapi, sekarang... Entah kenapa, aku berterima kasih.

Kutatap pantulan diriku sendiri di kaca kabinet senjata. Pemuda kurus dengan rambut berantakan, lingkar mata gelap, dan ekspresi kosong. Baju yang sudah memudar warnanya, daypack hitam lusuh yang terus menempel di punggung bahkan saat tidur. 

Tanganku kini menggenggam senjata api... Dan untuk pertama kalinya, aku sadar... Aku bisa melawan.

"Bukankah ini aneh?" tawaku lirih.

"Dulu aku hanya mengurusi laporan, mengantar dokumen, dimarahi bos setiap hari, dan jadi pelampiasan kesalahan orang lain. Sekarang... Aku berdiri di gudang senjata, menggenggam pistol, dan menatap pantulan diriku seperti pemuda yang sudah siap untuk pergi berperang."

Tawa kecil lolos dari bibirku. Bukan tawa bahagia, lebih seperti... Sisa ironi.

Kuposisikan pistol seperti di film-film, menodongkan ke arah pintu besi yang masih terbuka, dan menarik pelatuk.

Klik.

Kosong. Belum kuisi.

Kutarik laci di bawah meja dan mengambil satu magasin berisi peluru. Perlahan, kukaitkan ke Glock.

"Ceklek".

Suara kecil itu seperti palu yang memukul kesadaranku.

"Apa ini artinya... Aku sudah siap jadi pembunuh?"

Aku menghela napas. Lama.

Bukan untuk membunuh, mungkin. Tapi untuk bertahan hidup. Ya.

Aku menaruh Glock itu di meja. Lalu mengambil revolver. Berat dan lebih kasar. Di bagian gagangnya tertulis inisial P.D.S.

Entah siapa pemiliknya. Tapi aku tahu, senjata ini pernah digunakan. Goresan nya nyata.

Aku berjalan ke arah dinding yang dilapisi pelat baja. Di sana terdapat papan sasar kecil yang terlihat usang, sepertinya tempat latihan bosku dulu.

Kuposisikan badanku dibalik garis kuning yang masih samar di lantai, lalu menodongkan revolver itu ke papan target. Tarikan napasku berat.

Bidik.

Jari telunjuk ku sudah menekan pelatuk...

Seketika pikiranku dipenuhi dua hal... Teriakan Pamanku dan bayangan para makhluk buas itu.

"Tarik pelatuk itu dan kamu mati! Dunia tidak punya tempat untuk seorang yang ceroboh!!!"

Suara Pamanku meledak di kepalaku, kasar, dingin dan penuh amarah. Aku hampir bisa mencium bau lumpur yang dulu menempel di kulitku saat dia memaksaku merayap di parit. Rasa dingin itu kembali merayap dingin menusuk ke sumsum tulangku seperti tangan malaikat maut yang menepuk pundakku. 

Bersamaan dengan itu, otakku memuntahkan bayangan lain. Lidah panjang menjulur dari kegelapan, dengan mata putih pucat yang menatapku tajam disertai suara napas mereka yang basah dan lapar.

Sontak, aku terdiam.

"Kalau aku menembak... Mereka akan tahu aku di sini."

"Satu letusan akan menjadi undangan makan malam bagi mereka."

Aku menutup mata sambil mengutuk diriku sendiri, lalu menurunkan pistolnya perlahan.

"Tidak... Jangan terlena Jaya!!! Belum saatnya."

Aku menghela napas, berat... Dan pelan-pelan meletakkan kembali pistol itu ke atas meja.

"Terlalu berisiko... dan terlalu bodoh."

Aku duduk di kursi lipat besi di pojok ruangan. Mengelus wajahku yang dingin dan kering. Rasanya baru kali ini aku benar-benar merasa... Sendirian.

Aku menatap deretan senjata di dinding. Masing-masing dari mereka terlihat begitu siap untuk dipakai perang. Tapi pertanyaannya... Apakah aku sudah siap?

"Ini bukan dunia game... Ini bukan film."

Aku berdiri, mengambil satu belati dengan sarung kulit dan menyelipkannya di pinggangku.

"Setidaknya... Kalau mereka datang, aku tidak akan lari dengan tangan kosong."

Aku memutuskan untuk tidak terlalu lama tenggelam dalam pikiran.

Langkahku pelan saat menghampiri rak senjata di sisi dinding. Aku memilih satu pisau lipat taktis dan sebilah kodachi. Keduanya terasa mantap di tangan. Kuuji ketajamannya dengan menggoreskan ujung bilahnya ke kulit kayu peti amunisi. Tajam. Hampir terlalu tajam.

Kutemukan satu tali kulit dengan klip logam. Ku gunakan itu untuk menyelipkan kodachi di pinggang kiriku, sementara pisau lipat kuletakkan di saku dada sebelah kiri.

Lalu aku berjalan ke meja besi, mengosongkan daypack yang selama ini ku gunakan. Kubuka semua kantongnya, dan mulai mengatur ulang isinya.

Ku pisahkan makanan kaleng yang tersisa... Tinggal dua. Sepasang baterai cadangan, pemantik api, satu roll kabel nilon, senter kecil, dua botol air yang tersisa setengah, selembar ponco plastik, satu lembar kain serbaguna, buku catatan kecil dan... Buku harianku.

"Bawa hanya yang bisa menyelamatkan nyawamu! Sisanya Buang!" Suara Pamanku menggema di kepalaku, dingin seperti malam-malam saat dia memaksaku menghafal survival checklist di tengah hutan.

"Air. Api. Cahaya. Pisau. Tali. Sisanya cuma beban. Ingat, dalam pertempuran, yang berat itu bukan tas mu! Tapi cara berpikirmu yang lambat!"

Aku menarik napas perlahan. Bahkan di neraka ini, suaranya masih saja membuntutiku.

"Aku memang membencinya saat itu... Tapi sekarang, kata-kata itu adalah hukum."

Kususun semua perlengkapan itu ke dalam daypack dengan hati-hati. Kupastikan tidak ada suara berisik ketika tasku bergerak. Tidak boleh ada suara. Di luar sana, suara adalah nyawa.

Selesai merapikan tas, aku berjalan ke meja kerja dan menarik kursi besar berlapis kulit yang dulu selalu diduduki oleh si bajingan. Kini, aku duduk di sana. Dan rasanya... Aneh.

Kunyalakan lampu senter kecil dengan cahaya kuning temaram.

Kubuka halaman terakhir buku harianku. Kuambil pena, dan mulai menulis.

** **

[14 Agustus 2035, 23:46]

Hari ke-46.

Aku telah menemukan gudang senjata. Isinya cukup untuk memulai sebuah perang kecil. Tapi bukan itu yang membuatku merasa harus bergerak.

Teriakan itu... Jeritan yang kudengar dari luar jendela malam ini... Membekas dalam benakku.

Aku yakin masih ada orang yang hidup di luar sana.

Dan aku... Tidak bisa hanya duduk diam di ruangan ini, menunggu dunia hancur lebih dalam lagi.

Besok pagi aku akan memulai eksplorasi. Tujuan pertamaku gedung pemantau lalu lintas, jaraknya lima blok ke arah barat dari sini. Mungkin CCTV mereka sempat merekam detik-detik sebelum Gerbang Merah terbuka.

Aku harus tahu. Aku harus mulai menginvestigasi apa yang sebenarnya terjadi.

Jika aku mati dalam perjalanan... Semoga seseorang menemukan buku ini.

- Jaya.

** **

Selesai menulis, kumatikan senter kecilku, menyimpan buku harian ke dalam kantong belakang daypack, dan perlahan menghampiri sofa.

Ku letakkan tasku di sisi kiri sofa, kuselipkan disampingku, dan memejamkan mata sambil menggenggam pisau lipat di dalam saku.

Malam ini, untuk pertama kalinya sejak lama, aku tidur bukan karena lelah... Tapi karena aku punya tujuan.