Bab. 6 Jangan Anggap Ada

Kini aku sudah menjadi hak dan tanggung jawab sang suami sepenuhnya. Mari bersama - sama menorehkan cerita cinta kita pada selembar kertas baru.

Rasanya seperti mimpi, baru tadi pagi aku masih sendiri menyandang status lajang tapi kini tidak butuh waktu yang lama atas segala do'a malamku beberapa bulan ini.

Cepat sekali menemukan tambatan hati, jodohku yan dipilihkan Allah. Atas nama cinta dan segala kasih sayang-Nya aku yakin ini lah rencana dadakan yang indah takkan terlupakan bisa menjadikan gelitikan lucu saat kita tua nanti.

Banyak berharap kisah cinta ini abadi selamanya. Aku tamak, tak mau hingga tua bahkan maut yang memisahkan tapi aku ingin menjadi bidadari surgamu. Hanya cintamu yang aku mau didunia maupun diakhirat nantinya.

"Semoga Allah menjadikan kita keluarga yang sakinah mawadah warahmah ya mas." Ucapku saat pertama kali melangkahkan kaki masuk kedalam kamar seorang laki - laki yang sudah sah menjadi suamiku.

Grogi, tapi aku percaya disini akan dimulai kisah cerita kita menuangkan segala obrolan sedih suka duka senang canda tawa semuanya kan bermukim dalam kamar ini.

Tangan yang ingin ku genggam tak mampu ku gapai, dirinya berlalu begitu saja tanpa mengajakku. Tak bisa berkata - kata , aku dan kamu mempunyai banyak batasan.

Maafkan aku terlalu banyak meminta hatimu bahkan aku tidak tahu sama sekali siapa yang ada dihatimu saat ini.

Itu bukan aku ?

Atmosfer dalam kamar menjadi sangat dingin, badanku terasa kaku tak berani berpindah tempat walaupun hanya se senti saja. Duduk dipinggiran ranjang kasur empuk tanpa berani menyentuh barang yang lainnya.

Koper barang dan bajuku masih diambilkan oleh mbak - mbak abdi dalem suruhan mertuaku. Untung kamarku rapi dan hanya sedikit barang bawaan.

Sorot matanya merangkul segala kesedihan, hening sekali. Hanya detakan jam yang menjadi saksi bisu pasangan sejoli tanpa cinta.

Diam bukan berarti tidak memperhatikan, curi - curi pandang ujungnya juga buang muka.

Keberanian ini menguatkan kakiku melangkah ke arah suami yang sedang duduk di sofa pojok kamar.

Memulai obrolan basa - basi agar tak canggung kali.

"Masya Allah mas, kamar ini bagus banget ya. Udah luas estetik lagi, nyaman yah disini." Sanjungku mencoba mencairkan suasana.

Tak berhasil juga membuatnya berbicara. Ting !

Suara notifikasi dari handphone ku membuatnya sedikit melirik ke arah Nana yang mulai sibuk menggerakkan jemari.

"Siapa yang chatt ? Cowok kamu ? Pasti senengkan saya yang jadi tumbal atas kesalahan kalian." Celetuknya pedas sekali.

Memicingkan mata ke arahnya, bisa - bisanya aku lupa menjelaskan bahwa ini semua hanya kesalah pahaman saja.

"Maaf mas baru inget mau jelasin ini semua, sebenarnya Nana tidak hamil. Tadi tuh mual - mual karena asam lambung Nana naik. Eh malah dikira hamil jadi kita nikah deh."

Bukannya jadi awalan yang baik karena kejujuran ini lebih penting, eh malah makin disalahin.

"Kamu ya bener - bener, kenapa tidak bilang daritadi ? Jadinya kita tidak menikah seperti ini. Saya tidak suka kamu, saya mencintai Zahira Basyarah perempuan sholehah dan namanya akan selalu saya sebut di sepertiga malam." Jawabnya ketus tanpa menoleh ke arahku.

Sakit bukan main, hatiku hancur berkeping - keping. Mencoba melafalkan terbata - bata nama indah perempuan yang dicintai anak pak kyai kondang di kota ini.

"Za-Zahira Basyarah ? Ustadzah muda terkenal di kota ini ?"

"Iya, perempuan yang baik dan cantik bak bidadari di dunia ini. Saya mencintainya dalam diam, memberikan keikhlasan pada Allah untuk mempertemukan kita nanti. Tapi saya malah dapat kamu, apa yang bisa syukuri mendapat perempuan pembohong hanya demi menikah dengan saya."

Apa mungkin suamiku lupa jika aku istri sahnya, tak sepantasnya dirinya mengucapkan nama perempuan lain bahkan mengakui perasaannya secara terang - terangan dihadapanku.

Air matanya bahkan keluar saat Asyam menyebut nama itu, begitu tulus cinta dan kasih sayangnya diberikan semua untuknya.

Sadar diri Nana !

"Jangan anggap ada perasaan diantara kita. Status pernikahan ini hanya di atas kertas saja, bukan pernikahan nyata. Jadi saya harap kita tidur terpisah." Ucapan Asyam semakin membuat hatiku menjadi serpihan pilu.

Asyam beranjak dari kursi sofanya dan langsung tarik selimut menutup seluruh tubuhnya. Ya Allah sesak sekali dadaku.

Beginikah rasanya menjatuhkan cinta, pada akhirnya hati lah yang selalu menjadi korban terparahnya.

"Astagfirullahaladzim."

Setelah beristighfar berulang kali ku niatkan keluar kamar, namun dicegahnya dengan perkataan yang sangat menusuk hati.

"Biasanya perempuan baik akan menutupi kisah buruknya takkan membiarkan keluarga tahu apa masalah intern hubungan ini. Tapi saya rasa kamu jauh dari arti kata baik."

Lelaki macam apa ini, kenapa harus aku yang ditakdirkan menerima cobaan didalam hubungan pernikahan suci ini. Kenapa tak Engkau tunjukkan jika aku tak bisa bahagia setelah melepas masa lajang.

Bagaimanapun juga aku menganggap pernikahan ini baik dimataku, meski dia takkan bisa ku miliki seutuhnya.

Dengan langkah kaki yang gontai aku kembali ke sofa panjang warna coklat muda, ku rebahkan tubuh lelah ini mengistirahatkan diri dari kegilaan suasa hati berpesta diatas kekecewaan.

Jam dinding menunjukkan pukul 21.15, Asyam melirik Nana yang sudah tertidur pulas. Memposisikan badan seperti udang yang sudah dimasak. Tanpa bantal dan selimut tebal untuk menutup tubuhnya yang kedinginan.

Derajat AC saat ini berada di angka 16, seperti biasa Asyam lebih nyaman tertidur dengan udara dingin. Berbeda dengan Nana yang sering tidur bersama kipas kecil dan kamar sempit tak seluas kamar suaminya.

Beberapa kali Asyam melihat Nana melenguh mengusap lengannya, menahan dingin ? Hmm lemah sekali.

"Huh dingin banget, beruang kutub kah suamiku ini ? Bisa - bisanya dia tidur pulas tanpa ngasih aku bantal atau selimut kek,mit amit deh tua2 nyebelin." Umpatanku mungkin terdengar Asyam yang kaget lalu pura - pura tertidur.

Karena kasihan melihat Nana kedinginan dirinya hampir saja luluh memberikan selimut untuk Nana.

"Tua2 nyebelin katamu ? Emang aku setua itu?"

Baru saja mau merem eh dikagetkan suara Asyam. Pasti bakal terjadi perang dingin lagi deh.

"Hehehe mas Asyam belum tidur ? Mau saya temenin?" Godaku berharap bisa tidur dikasur empuk berselimutkan tebal membungkus udara dingin ini yang kian menyerap masuk ke tulang belulang.

"Naudzubillah min dzalik."

Senyumku langsung surut datar, kata - kata ini sungguh menyakiti hatiku.

Tak mampu lagi mata ini membendung air yang ingin turun, melesat jatuh ku rengkuh sendiri luka ini. Membalikkan badan merasa tak pantas membersamainya yang hampir nyari sempurna untuk disukai kaum hawa sepertiku.

Asyam sadar jika perkataannya teramat menyakitkan, berjalan perlahan ke arahnya sembari membawa selimut tipis dari dalam lemari kaca.

"Mm Nana ini pakailah selimut." Ucap Asyam tak disahut sama sekali oleh Nana. Diam membeku melirihkan tangisannya.

"Jangan sok kuat deh kamu, pakai selimutnya."

Menyelimutkan selimut putih tipis pada tubuh sang istri. Ada kebahagiaan tersendiri dihati Nana.